Google search engine
HomeUncategorizedREFLEKSI KERUSUHAN 2025: Rakyat Tidak Melawan Negara; Rakyat Bersama Negara Lawan Mafia...

REFLEKSI KERUSUHAN 2025: Rakyat Tidak Melawan Negara; Rakyat Bersama Negara Lawan Mafia Perusuh

Oleh:  Mangesti Waluyo Sedjati
Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah | Sekjen DPP Al-Ittihadiyah
Sidoarjo, 05 September 2025

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sahabat semua yang saya cintai,
Semoga kita selalu dalam rahmat Allah, diberi kesehatan, kejernihan hati, dan kebijaksanaan dalam menyikapi peristiwa. Mari kita belajar bersama dari krisis yang baru saja melanda negeri ini.

Sahabat semua, krisis sosial-politik di penghujung Agustus 2025 menunjukkan betapa tipisnya jarak antara aspirasi sah rakyat dan anarki yang ditunggangi perusuh. Pemicu awalnya sederhana: tunjangan hunian DPR Rp50 juta per bulan. Angka ini hampir 10 kali lipat dari UMP DKI 2025 (Rp5,39 juta). Perbandingan itu mengguncang rasa keadilan publik. Bagaimana mungkin di tengah situasi ekonomi yang masih sulit, wakil rakyat menikmati privilese jumbo, sementara jutaan keluarga harus bertahan hidup dengan upah minimum?

Dari sinilah gelombang aksi merebak di berbagai kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar. Awalnya damai—berisi orasi, spanduk, dan tuntutan koreksi kebijakan. Namun, seperti pola klasik sejarah politik jalanan Indonesia, arus murni ini kemudian disusupi aktor oportunis. Kerusuhan pecah: gedung DPRD Makassar dibakar hingga menewaskan 3 orang, penjarahan terjadi di beberapa pusat ekonomi, dan aparat bentrok dengan massa. Inilah titik di mana kita harus jernih: demonstran bukanlah perusuh.

Laporan internasional pada 4 September mencatat 10 korban meninggal, lebih dari 3.000 orang ditahan, dan ratusan luka. Salah satu yang paling mengguncang adalah tragedi Affan Kurniawan, driver ojek online berusia 21 tahun, yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa ini memicu solidaritas nasional dan menjadi turning point akuntabilitas. Negara bergerak: sopir rantis dijatuhi demosi tujuh tahun, perwira pendamping dipecat tidak hormat, dan berkas pidana dilimpahkan ke Bareskrim. Langkah ini penting sebagai cooling system, memberi sinyal bahwa kesalahan aparat pun tidak kebal hukum.

Di sisi lain, pemerintah melakukan koreksi cepat. Privilese DPR dihentikan, termasuk tunjangan hunian Rp50 juta dan moratorium perjalanan luar negeri anggota DPR. Ini langkah simbolik yang bernilai tinggi, menunjukkan suara rakyat didengar. Namun, tantangannya adalah konsistensi: apakah ini akan jadi koreksi sesaat, atau pintu menuju etika fiskal-politik baru yang lebih adil dan transparan?

Kita juga melihat dampak pada pasar dan stabilitas makro. Pada 1 September, IHSG anjlok lebih dari 3% di pembukaan, rupiah sempat melemah hampir 1% ke Rp16.500-an per dolar, sebelum ditopang intervensi Bank Indonesia. Secara makro, inflasi Agustus 2025 berada di 2,31% (yoy), kemiskinan Maret 2025 di 8,47% (terendah dalam sejarah), dan rasio gini 0,375. Angka ini positif, tapi rakyat tidak hidup dari data rata-rata. Mereka merasakan harga beras, tarif transportasi, biaya kontrakan. Jurang antara angka makro dan pengalaman sehari-hari rakyat inilah “bahan bakar” keresahan.

Di ruang digital, faktor algoritma ikut berperan. TikTok menangguhkan fitur LIVE selama beberapa hari untuk meredam penyebaran hasutan, lalu mengaktifkannya kembali dengan moderasi ketat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ruang digital kini bagian integral dari ekologi konflik: ia bisa menjadi kanal dokumentasi dan aspirasi, tapi sekaligus amplifier disinformasi. Maka ke depan perlu ada protokol krisis digital yang transparan, terbatas, dan terukur—agar tidak berubah menjadi sensor berlebihan yang membungkam kritik sah.

Narasi tentang adanya “mafia perusuh” juga mengemuka. Presiden menyebut ada jaringan yang menunggangi kerusuhan, bahkan sebagian aksi mengarah ke makar/terorisme. Klaim ini punya bobot politik, tapi secara hukum harus disertai bukti transparan: siapa aktornya, bagaimana jaringannya, apa aliran dana dan modus operandi. Tanpa transparansi, publik wajar skeptis. Karena itu, intelijen, penegak hukum, dan komunikasi publik harus menyatu dalam satu tarikan napas: tegas, berbasis bukti, dan terbuka.

Sahabat semua, rekonsiliasi sosial hanya mungkin tercapai dengan pendekatan keamanan humanis. Itu artinya:
• Hak protes damai dijamin, sesuai UUD 1945 Pasal 28E.
• Perusuh dan penjarah ditindak tegas, agar aspirasi sah tidak tercoreng.
• Aparat akuntabel bila melanggar SOP, karena tanpa akuntabilitas, negara kehilangan legitimasi moral.
• Korban dipulihkan melalui restitusi, rehabilitasi, dan investigasi independen.

Konkret, ini berarti membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) melibatkan Komnas HAM, Ombudsman, kampus, dan ormas. Hasilnya harus dipublikasikan, bukan disimpan di laci birokrasi. Juga perlu ada restitusi finansial bagi keluarga korban jiwa (setara puluhan hingga ratusan juta rupiah), rehabilitasi hukum bagi demonstran damai yang ditahan tanpa bukti, dan SOP keamanan berbasis graded response—negosiasi, rekayasa lalu lintas, pemisahan massa—sebelum penggunaan kekuatan koersif.

Namun rekonsiliasi tidak cukup. Kita harus menutup sumber bahan bakar keresahan. Itu berarti:
• Reformasi DPR dengan audit publik tunjangan, sunset clause untuk privilese, dan benchmark ke median upah serta kinerja legislatif.
• Menghubungkan data makro dengan kebijakan dapur rakyat: transportasi murah, pangan stabil, kontrakan terjangkau.
• Reformasi aparat keamanan: body-worn camera, evaluasi pasca-operasi yang dipublikasikan, kurikulum de-escalation, dan sanksi tegas yang konsisten.
• Tata kelola ruang digital: protokol krisis yang transparan, fast-track moderasi konten provokatif, laporan transparansi pasca-krisis, tanpa overblocking.

Semua ini harus dibungkus dengan strategi komunikasi publik yang konsisten. Narasi yang harus ditegakkan adalah: “Rakyat tidak melawan negara; rakyat bersama negara melawan mafia perusuh.” Komunikasi publik harus menjelaskan koreksi kebijakan dengan jujur, menegakkan hukum dengan adil, dan memulihkan kepercayaan dengan kompensasi nyata. Dialog terbuka di kampus, komunitas buruh, dan driver ojol perlu digelar. Hotline aduan cepat harus disediakan. Siaran berkala tentang perkembangan kasus Affan, penindakan provokator, dan restitusi korban harus diumumkan rutin. Dan yang tak kalah penting, kolaborasi dengan tokoh sipil dan influencer yang dipercaya publik harus diperkuat, agar narasi persatuan tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari suara masyarakat sendiri.

Sahabat semua, inilah jalan tengah republik. Sebuah jalan di mana ketertiban ditegakkan dengan adil, bukan membungkam; keadilan benar-benar ditegakkan, bukan membiarkan anarki. Empat pilar menegakkannya: koreksi kebijakan, perlindungan hak sipil, akuntabilitas aparat, dan penindakan mafia perusuh. Bila ini dijalankan serentak, rakyat dan negara akan berdiri sebarisan, menutup ruang adu domba, dan bersama-sama mengusir perusuh dari panggung bangsa.

Krisis Agustus–September 2025 akan tercatat bukan sekadar sebagai luka, tapi sebagai titik balik kedewasaan republik—saat rakyat dan negara berani mengoreksi, tegas menindak, dan tulus memulihkan.

Mari kita kawal bersama dengan akal sehat, doa, dan solidaritas. Karena bangsa ini hanya akan selamat bila kebenaran dan keadilan berdiri tegak di tengah rakyatnya. 🇮🇩

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

⸻

📖 Baca versi lengkap (Bab I—Bab VIII + Daftar Pustaka) yang lebih data-driven, komprehensif, dan mendalam di FaceBook: https://www.facebook.com/share/p/15sZm1fD3V/?mibextid=wwXIfr

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments