Google search engine
HomeUncategorizedJARINGAN DALAM: Siapa Saja yang Menghidupkan Mafia Migas dari Dalam Pertamina?

JARINGAN DALAM: Siapa Saja yang Menghidupkan Mafia Migas dari Dalam Pertamina?

EPISODE 2 dari 7

Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
Sidoarjo, 9 Oktober 2025

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sahabat-sahabat semua. 🙏

Saya ingin mengajak kita menyibak cara kerja jaringan di sektor migas dari kebijakan di atas, rekayasa teknis di tengah, sampai kontrak & logistik di bawah dengan bahasa yang ringan. Catatan ini merangkum temuan resmi dan laporan media kredibel terkini, agar kita paham bukan hanya “siapa”, tapi “bagaimana mekanismenya berjalan” dan di titik mana uang publik paling mudah bocor.

🔹 Pertama-tama, mari luruskan persepsi: ini bukan cerita “oknum”. Pola 2018–2023 yang disorot penegak hukum memperlihatkan orkestrasi lintas simpul pengaturan spesifikasi, alur impor, hingga praktik blending dengan penetapan tujuh tersangka pada 24–25 Februari 2025 dan estimasi kerugian sekitar Rp193,7 triliun. Praduga tak bersalah tetap berlaku, tetapi rangkaian faktanya menunjukkan jaringan yang saling menopang, bukan aksi tunggal. (Detail penyidikan menyinggung lokasi blending di fasilitas pihak ketiga dan peran sejumlah aktor dari unsur internal dan swasta).

Kita juga perlu jernih membaca narasi hukum vs fakta pasar. Di ruang sidang 9 Oktober 2025, dakwaan terhadap eks Dirut Patra Niaga tidak menuduh “oplosan Pertalite”; fokusnya pada manipulasi perhitungan harga (kompensasi/HJE). Artinya, penyimpangan bisa terjadi meski barangnya sesuai spesifikasi, jika rumus dan proses administrasi dibengkokkan. Di sini letak kecerdikan “rente modern”: bermain di angka dan dokumen, bukan selalu di fisik barang.

💡 Kenapa ini penting? Karena uang APBN ikut terpapar. Pemerintah membayar kompensasi BBM ke Pertamina Rp132,44 triliun (termasuk PPN) untuk 2023 angka resmi yang cair 4 Januari 2024. Jadi, bila premi, freight, demurrage, atau storage “dibesarkan” di rumus, tagihannya ikut membengkak ke kas negara. Inilah mengapa kontrol rumus sama pentingnya dengan kontrol kualitas barang.

🔹 Sekarang, mari tengok peta kekuasaan yang menentukan jalur uang:
1). Direksi Holding/Subholding menetapkan kebijakan (preferensi crude, prioritas domestik vs impor, metodologi spesifikasi kilang). Pasca pembubaran PETRAL 2015, fungsi pengadaan dipusatkan ke Integrated Supply Chain (ISC) untuk memotong perantara secara konsep lebih transparan, tetapi tetap perlu pengawasan ketat agar tak “gelap” di praktek.
2). Unit teknis menengah mulai Crude Acceptance Matrix (CAM) di kilang sampai logistik maritim mengeksekusi detail: assay, term sheet, laycan, routing kapal, dan quality certificate. Pada simpul-simpul inilah biaya “konstanta” (alpha, freight, demurrage, storage) bisa melebar jika tender tidak pro-kompetitif. (Red flag yang sering luput!)
3). Rantai ritel & kompensasi: ketika harga keekonomian > harga eceran penugasan (JBT/JBKP), selisihnya diganti pemerintah. Konstruksi ini adil bagi layanan publik, tapi rawan bila perhitungan dan verifikasinya longgar.

🔹 Bukti “kebocoran lewat rumus”, bukan sekadar angka tempel:
BPK dalam IHPS II-2024 (dipublikasikan Mei 2025) mengungkap pembayaran terlalu tinggi ±Rp10,09 triliun pada transaksi produk kilang internal karena biaya pengapalan (freight) ikut dimasukkan ke harga jual padahal skema kontraknya FOB. Rekomendasi BPK: rombak formula transfer price agar sesuai substansi transaksi (biaya produksi + margin wajar + koridor pajak). Ini pelajaran emas: mark-up era baru sering bersembunyi di formulas bukan di harga indeks.

Di lapangan, vendor lama kerap berganti “topeng” (nama PT berbeda, beneficial owner sama). Karena itu kewajiban Beneficial Ownership (BO) perlu dipakai, bukan cuma dikumpulkan. Standar EITI menegaskan: transparansi BO adalah kunci menutup konflik kepentingan dan rente. Indonesia sudah memulai dan Validasi EITI 2024 menandai masih ada pekerjaan rumah soal BO data use & sanksi kepatuhan. Mendorong pemakaian data BO dalam pra-kualifikasi dan kontrak akan memotong “pemain berkedok konsultan/nominee”.

🔹 Dampak ke pasar nyata terasa pada 2025. Setelah guncangan kepercayaan, sebagian konsumen bergeser ke SPBU swasta, tetapi pemerintah membatasi impor swasta dan mendorong mereka membeli via Pertamina; KPPU ikut mengingatkan risiko persaingan usaha. Ini menunjukkan tata kelola di hulu–tengah langsung memukul hilir & konsumen.

Untuk skala dan ritme harga: patokan LPG Asia (Aramco CP/OSP) pada Oktober 2025 berada di US$495/ton (propana) dan US$475/ton (butana) setelah pemangkasan dari September. Logikanya sederhana: kalau indeks turun, maka premi CFR & biaya logistik selayaknya ikut ditinjau ulang. Bila tidak, itu sinyal merah buat audit.

🔹 Lalu di mana persisnya “kebocoran” sering terjadi?
1. Desain tender: syarat teknis super-spesifik yang “kebetulan” mengunci satu-dua pemasok; jendela laycan mepet; origin filter yang terlalu membatasi. Saat kompetisi sempit, premi merayap tanpa perlu mark-up vulgar. (OECD menyebut pola ini red flag persekongkolan tender).
2. Logistik maritim: routing memutar, demurrage akibat _planning_lemah, sewa storage eksternal yang tak efisien. Saat pasar tanker longgar tapi alpha tetap gemuk, itu alarm.
3. Transfer price antar-entitas: seperti temuan BPK Rp10,09 T, biaya yang tak semestinya masuk ke rumus harga. Ini silent leak yang hanya tertangkap lewat audit forensik berbasis kontrak & pembanding pasar.
4. Dokumen mutu & asal: certificate of quality/origin yang problematis, blending di terminal pihak ketiga tanpa transparansi. Proses hukum 2018–2023 antara lain menyinggung pola ini sekali lagi, prosesnya masih berjalan dan semua pihak berstatus praduga tak bersalah.

🔹 Apa yang harus dibenahi agar “reformasi” tidak cuma kosmetik?
1). Audit forensik independen yang menggigit, bukan sekadar audit kepatuhan. Uji index-plus pricing (Platts/MOPS, Aramco CP) beserta premi, freight, war-risk, demurrage, storage pada tanggal & rute yang sama. Koreksi formula transfer price mengikuti substansi FOB/CIF sejalan rekomendasi BPK.
2). Transparansi vendor & kontrak publik: verifikasi BO 100% sebelum PO efektif; publikasikan metadata kontrak dengan Open Contracting Data Standard (OCDS) agar publik bisa menguji mark-up secara mandiri.
3). Pisahkan pelaksana–kontrol–audit: terapkan Model Three Lines Lini-1 (operasi), Lini-2 (manajemen risiko/kepatuhan yang independen dari operasi), Lini-3 (audit internal yang melapor ke Komite Audit Dewan, bukan ke manajemen). Ini praktik “anti-kucing jaga ikan”.
4). Profesionalisasi kepemilikan & dewan BUMN: jalankan OECD SOE Guidelines (2024) fit & proper berbasis kompetensi, firewall dari intervensi politik, dan akuntabilitas yang bisa diukur publik.
5). Whistleblowing yang melindungi, bukan sekadar menampung: data KPK menyebut >5.000 aduan di 2024 dengan ±1.600 lewat WBS kanal ini nyata dipakai publik, tapi butuh aturan anti-retaliasi dan layanan LPSK yang kuat karena permohonan perlindungan naik tajam pada 2024–2025. Berani bicara harus aman secara hukum dan karier.

🔹 Kenapa semua ini mendesak? Karena beban subsidi + kompensasi energi 2025 dipatok ±Rp394,3 triliun dalam RAPBN. Satu–dua persen inefisiensi di “konstanta” bisa menjelma triliunan rupiah. Menekan alpha + freight + demurrage saja Rp3/barel pada bensin skala nasional bisa berarti hemat miliaran dolar tanpa harus mengusik indeks atau pajak.

Sebagai quick lens untuk pembaca: bila indeks turun (contoh CP LPG Oktober 2025 turun ke US$495/US$475), sementara premi & biaya logistik tidak ikut turun, itu tidak wajar. Jika pemenang tender berulang dengan spesifikasi yang mengunci, itu merah menyala. Dan kalau biaya shipping tiba-tiba “menempel” ke harga FOB, itu jelas salah kamar persis jenis temuan yang disorot BPK. Audit berbasis data adalah kunci mencabut akar, bukan sekadar memotong ranting.
Terakhir, mari jujur: skor CPI 2024 Indonesia masih 37/100 (peringkat 99/180) naik tipis tapi belum membuat pelaku rente gentar. Artinya, kita belum boleh puas. Reformasi tata kelola harus punya angka hasil: premi versus indeks turun; formula transfer price beres; BO diverifikasi; kontrak terbuka; WBS aman dari retaliasi. Baru itu namanya reformasi yang menyentuh dompet negara bukan kosmetik.

🔹 Salam penutup.
Sahabat-sahabat, kita bisa menutup ruang gelap itu bukan dengan marah-marah, melainkan dengan data, standar, dan disiplin kontrol. Tekan premi yang tidak wajar, buka kontrak, pisahkan garis kontrol, lindungi pelapor, dan kejar sampai pemilik manfaatnya. InsyaAllah, dari langkah-langkah teknis itu lahir hemat nyata bagi perusahaan dan leganya APBN dan yang paling penting, kembalinya rasa percaya publik.

Kalau Anda ingin menyelam lebih dalam (lengkap dengan contoh hitungan indeks vs premi, red flags tender, dan scorecard 12 bulan), silakan baca artikel lengkap Bab I s.d. Bab IX di tautan FaceBook kami: https://www.facebook.com/mangestiwaluyosedjatifull/posts/pfbid0B1YvhKUxFEauSpWjDn1PcdkgdADF2SCVAK2oQdWu6BjdTS37RyMVLrvhtgMRnWkAl
Biar diskusinya makin tajam, solusinya makin jelas.
_InsyaaAllah besuk di lanjutkan ke
*EPISODE 3* tentang_ *”MODUS BARU, NAMA LAMA: Dari Petral ke Patra Niaga,”*
Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh. 🤲

Mohon bantu sebarkan agar semakin banyak yang paham mekanisme, bukan sekadar kabar angin. Terima kasih. 🙏✨

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments