SERIAL 1 dari 10 — KESEHATAN KITA SEDANG SAKIT:
Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah | KPEU MUI Pusat
Sidoarjo, 7 Oktober 2025
Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh, sahabat semua 👋
Semoga hari ini hati kita lapang, pikiran jernih, dan tubuh diberi kesehatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hari ini, mari kita bicara dengan jujur tentang kesehatan yang sedang sakit.
Bukan karena kurang rumah sakit, bukan pula karena kurang dokter, tapi karena sistemnya kehilangan arah nurani.
Dari luar, sistem kesehatan kita tampak megah: rumah sakit berdiri di banyak kota, dokter makin banyak tersertifikasi, dan kartu jaminan kesehatan kini dipegang hampir semua warga.
Namun di balik semua itu, masih terdengar keluhan panjang dari rakyat kecil.
Bukan karena mereka tak punya kartu, tapi karena perjalanan menuju layanan yang layak masih penuh rintangan.
Biaya non-medis seperti transportasi, obat di luar tanggungan, dan kebutuhan harian selama berobat masih terasa berat bagi keluarga berpenghasilan pas-pasan.
Antrean yang panjang di rumah sakit besar membuat waktu dan tenaga terkuras.
Sementara mutu layanan yang belum merata membuat nasib pasien sering ditentukan oleh di mana mereka tinggal, bukan oleh seberapa berat penyakit yang diderita.
Kartu jaminan kesehatan boleh membuka akses, tapi belum tentu membuka keadilan.
Sebab hak untuk sehat tidak berhenti di pintu rumah sakit, melainkan pada cara sistem memperlakukan manusia.
Kesehatan sejati bukan hanya soal obat dan ruangan rawat, tapi tentang bagaimana negara memeluk warganya dengan keadilan dan empati.
Yang sedang kita hadapi bukan sekadar persoalan fasilitas, tapi persoalan nurani dalam tata kelola.
Negeri ini tidak sedang kekurangan alat atau tenaga, yang hilang adalah kejujuran dalam mengelola amanah dan keadilan dalam membagi manfaat.
Karena kesehatan sejatinya adalah amanah ilahi, bukan komoditas ekonomi; ia adalah hak hidup rakyat, bukan proyek yang berpindah-pindah tangan.
Dan di titik inilah kita diajak kembali bertanya pada diri sendiri:
apakah sistem yang kita bangun selama ini benar-benar menyembuhkan, atau justru membuat rakyat s*akit dua kali—sakit karena penyakitnya, dan sakit karena biayanya?*
Tulisan ini lahir dari keprihatinan, tapi juga dari harapan.
Harapan bahwa kita masih bisa memperbaiki arah,
mengembalikan kesehatan ke tangan rakyat,
dan menjadikan profesi medis bukan sekadar pekerjaan, melainkan ladang ibadah dan pelayanan kehidupan.
Sahabat, mari kita renungkan perlahan.
Karena yang perlu disembuhkan hari ini bukan hanya tubuh pasien,
tetapi jiwa sistem yang selama ini lupa untuk berbuat adil.
❤️ Kenapa kita perlu bicara jujur soal kesehatan?
Di permukaan, fasilitas bertambah dan dokter tersertifikasi. Tapi di balik layar, sistem sedang demam: panas karena konflik kepentingan, nyeri oleh birokrasi, lemah karena arah moral memudar. Antrean panjang, biaya terasa berat, nakes kelelahan pertanyaan pun muncul: kesehatan masih untuk rakyat, atau jadi proyek segelintir?
📊 Fakta kunci (agar emosi kita ditopang data)
1). Cakupan JKN sudah sangat luas tiket masuk rakyat ke layanan. Tetapi, out-of-pocket (biaya yang dibayar sendiri) masih tinggi, tanda proteksi finansial belum tuntas.
2). Penyakit katastropik (jantung, kanker, stroke, gagal ginjal) menguras pembiayaan karena pencegahan & manajemen kronis di FKTP belum kuat.
3). Rasio dokter & tempat tidur rendah, puskesmas belum “full team” secara merata mutu layanan tergantung domisili.
4). Ketergantungan impor (bahan baku obat & alat kesehatan) tinggi kurs melemah ⇒ biaya layanan naik.
5). Transformasi digital (RME, SATUSEHAT) potensial menyelamatkan nyawa asalkan ada privacy-by-design, audit independen, dan kedaulatan data.
Kesimpulan jujur: kartu kita sudah banyak, tapi urat nadi di hulu (FKTP, pencegahan, SDM merata, pasok lokal, tata kelola data) belum berdenyut kuat.
🧭 Akar sakit yang harus kita obati
1). Peran yang tumpang tindih: regulator juga operator dan pemilik platform ibarat wasit ikut main, keputusan rawan bias.
2).* Insentif yang salah*: pembayaran jasa cenderung mengejar volume, padahal yang kita butuhkan hasil (tekanan darah/gula terkendali).
3). Pasok yang rapuh: >90% BBO dan >70% alkes bergantung impor biaya naik saat kurs goyah.
4). Data tanpa pagar: sentralisasi tanpa perlindungan data = manfaat besar, risiko lebih besar bila kebocoran terjadi.
5). Ketimpangan wilayah: puskesmas di pelosok kekurangan alat/SDM; RS premium tumbuh di kota yang kaya makin sehat, yang miskin makin menepi.
🕊️ Kompas nilai: Amanah & ‘Adl
Kebijakan kesehatan adalah amanah, bukan alat kuasa. ‘Adl (keadilan) menuntut risiko & manfaat kebijakan dibagi proporsional yang paling lemah paling dilindungi. Kaidah la ḍarar wa la ḍirār (jangan memudaratkan) berarti: tarif wajar, data aman, layanan dekat, mutu selamat.
Intinya: nyawa lebih utama daripada kenyamanan administrasi; privasi adalah martabat, bukan catatan teknis.
🛠️ Jalan keluar: Kembalikan kesehatan ke rakyat
*1). Pisahkan regulator–operator
Kemenkes fokus mengatur & mengawasi. Operasional & bisnis* (RS vertikal, platform, proyek layanan) dikelola badan independen dengan dewan pengawas mayoritas independen. Ini memutus “bias wasit” dan memulihkan kepercayaan publik.
*2). Tegakkan kedaulatan data
Simpan data pasien di pusat data nasional/government cloud*, pakai zero-trust, enkripsi ujung-ke-ujung, access logging, dan breach notification ≤ 72 jam. Bentuk Komisi Etik Digital Kesehatan (model Caldicott/NDG) agar “pakai data = pakai kepercayaan”.
3). Bangkitkan farmasi & alkes lokal
Target TKDN bertahap (menuju ≥70%) per-kategori yang feasible; pooled procurement obat esensial & alat diagnostik primer; matching fund bahan baku obat; sandbox regulasi untuk inovasi.
Kemandirian pasok = harga stabil, layanan tangguh, kerja lokal tumbuh.
4). Desentralisasi dengan mutu terjaga
Berikan otonomi klinik–operasional untuk puskesmas/RS daerah (penugasan fleksibel, task-sharing aman, telemedisin terintegrasi SATUSEHAT). DAK berbasis kinerja pada SPM (imunisasi, ANC, skrining PTM).
Yang tahu medan adalah daerah; pusat menguatkan dengan adil.
5). Etika & spiritualitas dalam pendidikan kedokteran
Jadikan amanah, ‘adl, social accountability dan keselamatan pasien sebagai tulang punggung kurikulum; wajibkan literasi PDP (privasi, persetujuan, de-identification, bias algoritma).
Profesi adalah ibadah, bukan perlombaan gengsi.
*6). Pembiayaan yang mendidik
Bayar hasil, bukan volume: capitation berbobot risiko* di FKTP; value-based purchasing di rujukan; sin taxes untuk menahan laju PTM. Pastikan KRIS memeratakan mutu tanpa biaya tersembunyi bagi pasien.
📈 Skorboard 12–24 bulan (biar tidak jadi wacana)
Tetapkan empat jarum jam yang transparan & diaudit publik:
1). OOP: ~28,5% → ≤27% (dan lanjut turun).
2). Katastropik: turun klaim/100.000 (jantung–kanker–stroke) lewat skrining & manajemen kronis di FKTP.
3). KRIS: readiness index per RS (12 kriteria + waktu tunggu) dipublikasikan.
4). Stunting: ~19,8% → <18% dengan joint accountability lintas sektor.
Bila keempat angka ini bergerak ke arah benar, itulah tanda sistem sedang sembuh, bukan sekadar gejalanya ditenangkan.
🙌 Ajakan moral: Menyembuhkan tanpa menyalahkan
Stop polarisasi: regulator vs operator, pusat vs daerah, publik vs swasta. Mari kerja atas data & nurani.
1). Regulator: umumkan konflik kepentingan, pisahkan peran, buat transparency report tahunan.
2). Nakes & manajer RS: jujur pada risiko–biaya, hentikan over-treatment, biasakan pelaporan insiden tanpa menyalahkan.
3). Industri & akademia: TKDN yang asli (bukan relabeling), riset untuk obat esensial dan diagnostik murah-andal.
4). Pemda: puskesmas kuat, rujukan efisien, telemedisin merata.
5). Warga: gizi & pencegahan (cek tekanan darah/gula), gunakan FKTP sebagai pintu depan, pahami hak privasi data, dan berpartisipasi mengawasi layanan.
Ikrar harian: (1) Menjaga amanah data–anggaran–keputusan, (2) Menegakkan keadilan pada akses–tarif–mutu, (3) Memilih pencegahan sebelum penyesalan, (4) Memihak yang paling lemah, (5) Menjadikan profesi & kebijakan sebagai ibadah.
🤲 Doa penutup (agar ikhtiar bertemu hidayah)
اللّٰهُمَّ اشْفِ بِلَادَنَا وَقُلُوبَنَا…
Ya Allah, sembuhkan negeri dan hati kami; jadikan kesehatan nikmat, bukan komoditas; jadikan profesi medis ladang amal, bukan ambisi; dan bimbing pemimpin kami pada kebenaran & keadilan.
📣 Titip pesan
Jika sahabat merasa pesan ini bermakna, bagikan ke keluarga, guru, tenaga kesehatan, pengambil kebijakan, dan komunitas terdekat. Kesembuhan sistem adalah kerja kolektif lisan yang berdoa harus bertemu tangan yang bekerja.
Untuk versi lengkap Bab I–VII (data, argumen, dan rujukan yang lebih rinci), silakan baca artikel utuhnya di FaceBook: https://www.facebook.com/share/p/14wxvQdmZH/.
Terima kasih sudah meluangkan waktu. Semoga Allah menjaga kita semua.
_InsyaaAllah besuk di lanjutkan ke
*SERIAL 2* tentang_ *”REGULATOR YANG JADI PEMAIN: Ketika Pengawas Ikut Bermain di Lapangan yang Sama”*
Wassalāmu’alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.