Google search engine
HomeUncategorizedOrang Tua Menebar Kasih Sayang Saat Ada Ujian Keracunan MBG

Orang Tua Menebar Kasih Sayang Saat Ada Ujian Keracunan MBG

Oleh: KH ImamĀ  Mawardi Ridlan

Di tengah hiruk-pikuk berita tentang kasus keracunan makanan yang menimpa anak-anak di beberapa sekolah. Semua membahas dengan memberi penghakiman. Saya tidak tertarik membahas mengapa terjadi keracunan. Biar itu jadi tugas para ahli kesehatan. Mereka yang punya wewenang memberi tahu pada kita, mengapa ada keracunan?

Pada Sabtu (4/10/2025) di Gedung Dakwah Abi KH.M.Ihya Ulumiddin berkumpul para orang tua murid SMP Al Azhaar Kedungwaru Tulungagung. Di hadapan mereka saya bertanya, “apakah Bapak/Ibu merasa kuatir atas asupan makanan dari dapur Al Azhaar yang disajikan pada anak-anak kita?”
Mereka menggelengkan kepala sambil menjawab, “tidak.”
“Mengapa tidak kuatir?” tanyaku.
Mereka hanya diam dan menatapku ingin mendapatkan jawaban. “Ia, karena di dapur kita ada wiridan, ada doa, ada kasih sayang,” jawabku.

Saya memandang saat asupan makna Makan Bergizi Gratis (MBG) ada kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang konkret, yang hadir dalam bentuk sikap, doa, dan pengkhidmadan oleh para pejuang tim dapur SPPG. Mereka telah berkhidmat sejak dini hari.

Ketika sebagian besar orang masih terlelap, para ibu dan bapak relawan SPPG sudah bersiap di dapur. Mereka bukan sekadar memasak. Mereka menakar gizi, menjaga kebersihan, memastikan setiap butir nasi dan lauk yang disajikan adalah aman dan penuh kasih sayang. Mereka tidakkan bayar dengan gaji besar. Yang mereka bawa adalah niat khidmat dan harapan agar anak-anak bangsa tumbuh sehat dan kuat.

Di dapur SPPG Khusus Kedungwaru Tulungagung para relawan selalu berdoa saat menerima bahan makanan. Mereka juga berdoa saat memulai pengolahan, pemorsian dan distribusi. Mereka juga bergantian melakukan sholat tahajud dan sholat shubuh.

Nahhh di saat terjadi kasus keracunan. Semua menyalahkan. Bahkan ada yang berkelakar akan mempidanakan. Saya yaqin, seyaqin-yaqinnya mereka berkhidmad dengan tulus. Mereka tidak sedang memasak racun. Tidak menambahi racun di pengolahan makanan. Mereka juga sangat berhati-hati untuk mewujudkan asupan makanan yang terbaik.

Saat terwujud berbagai kasus keracunan, pertama kali yang menangis, dan merasa bersalah adalah para relawan SPPG. Akhirnya bertanya-tanya di mana letak kekhilafan. Di sinilah saya selalu bertanya, “mengapa masyarakat kita terkena penyakit menghakimi?”

Di saat ada kasus keracunan di asupan MBG berikan kasih sayang pada para relawan SPPG.
1. Beri penghargaan pada mereka, sebaiknya tidak menambah beban batin para relawan SPPG.
2. Berikan pelipur lara dan sekaligus penyemangat.
3. Setiap ada kasus keracunan MBG sebaiknya diserahkan pada ahli yang terkait saja. Dan sekaligus didorong para SPPG berbenah diri dan membuka diri untuk diberi nasehat, dan kritik.

Saat terjadi kasus keracunan terus berlanjut, maka kasih sayang orang tua kepada tim dapur dibutuhkan. Ia bisa hadir dalam bentuk:

1. Ucapan terima kasih yang tulus, meski hanya lewat pesan singkat lewat WhatsApp.
2. Doa yang dipanjatkan agar para relawan diberi kekuatan dan dalam penjagaan Alloh Ta’ala.
3. Lebih baik membahas secara internal dan tidak menyebarkan ghibah atau prasangka sebelum ada hasil investigasi resmi.
4. Memberi ruang dialog yang sehat antara orang tua dan tim dapur, bukan ruang penghakiman.
5. Tidak harus ikut para provokator yang mengajak demo, turun jalan saat ada kasus keracunan MBG.

Sikap ini bukan hanya menyembuhkan luka batin para relawan SPPG, tetapi juga menciptakan ekosistem pelayanan yang lebih aman dan penuh tanggung jawab.

Para relawan SPPG bukan sekadar tukang masak. Mereka adalah penjaga gizi, penjaga amanah, dan penjaga masa depan anak-anak. Ketika orang tua menunjukkan kasih sayang dan penghargaan, kinerja mereka meningkat apalagi para orang tua selalu bersikap positif. Dampaknya adalah:

1. Mereka merasa dihargai, sehingga lebih teliti dan penuh semangat.
2. Mereka lebih terbuka terhadap evaluasi dan perbaikan.
3. Mereka merasa menjadi bagian dari keluarga besar, bukan sekadar pekerja teknis.

Kasih sayang orang tua merupakan modal moral yang membuat para relawan dapur SPPG untuk menghasilkan makanan yang terbaik.

Ketika para relawan dapur SPPG merasa dicintai dan dihormati, mereka akan menyalurkan energi positif itu ke dalam setiap sajian. Anak-anak pun merasakan dampaknya:

1. Makanan yang disiapkan dengan cinta lebih mudah diterima tubuh.
2. Anak-anak belajar bahwa di balik sepiring nasi, ada perjuangan dan kasih sayang.
3. Mereka tumbuh dengan nilai-nilai khidmat, teliti, dan syukur.

Kasih sayang orang tua kepada para relawan dapur SPPG adalah investasi jangka panjang untuk karakter anak-anak mereka sendiri.

Kasus keracunan adalah ujian kita, bukan vonis siapa yang harus dipidana. Orang tua yang bijak akan:

1. Menahan diri dari menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
2. Menunggu hasil investigasi dari tim kesehatan dan MBG.
3. Mengajak anak-anak untuk tetap bersyukur dan tidak menyalahkan siapa pun.
4. Mendorong perbaikan sistem, bukan pembubaran semangat.

Semoga sikap para orang tua sekalu positif. Maka akan berfungsi sebagai penentu arah. Apakah MBG akan tumbuh menjadi program yang lebih baik, atau tenggelam dalam fitnah dan ketakutan.

Di saat krisis, kita diuji bukan hanya pada kemampuan teknis, tetapi pada kedalaman hati. Para orang tua yang menebar kasih sayang adalah cahaya di tengah gelap. Mereka tidak hanya melindungi anak-anak mereka, tetapi juga melindungi semangat para relawan yang bekerja demi anak-anak itu.

Mari kita rawat dapur SPPG dengan cinta. Mari kita jaga MBG dengan doa dan evaluasi yang bijak. Karena di balik setiap piring makan siang, ada harapan, ada perjuangan, dan ada kasih sayang yang tak ternilai. (za).

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments