Dikisahkan oleh Khalaf bin Buhaim, pada suatu hari di Kota Makkah, terjadi pertemuan penuh makna antara dua tokoh sufi besar: Ibrahim bin Adham dan Syaqiq al-Balkhi. Keduanya dikenal dengan kedalaman ilmu, kezuhudan, dan ketawakalan yang luar biasa.
Dalam pertemuan itu, Ibrahim bin Adham berkata, “Wahai Syaqiq, ceritakanlah kepadaku, bagaimana awal mula perjalanan spiritualmu hingga engkau mencapai derajat seperti ini?”
Syaqiq pun mengisahkan, “Suatu hari, saat dalam perjalanan melintasi padang pasir yang luas dan sunyi, aku melihat seekor burung yang patah sayapnya. Dalam hati aku bertanya, ‘Bagaimana makhluk ini bisa bertahan hidup di tempat yang gersang seperti ini?’”
Didorong oleh rasa ingin tahu, Syaqiq duduk memperhatikan burung tersebut. Tak lama, datang seekor burung lain yang sehat, membawa belalang di paruhnya dan menyuapkan makanan itu kepada burung yang terluka.
Syaqiq merenung dalam hati, “Lihatlah, bagaimana Allah mencukupkan rezeki bagi makhluk-Nya yang bahkan tak mampu bergerak. Jika seekor burung yang tak berdaya dijamin kehidupannya, bagaimana mungkin manusia yang bertawakal kepada-Nya akan dibiarkan tanpa pertolongan?”
Sejak saat itu, Syaqiq memutuskan untuk meninggalkan dunia dan mencurahkan hidupnya untuk ibadah dan tawakal kepada Allah. Ia yakin dengan janji Allah dalam surah Ath-Thalaq ayat 3:
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Mendengar kisah tersebut, Ibrahim bin Adham dengan penuh hikmah berkata,
“Wahai Syaqiq, mengapa engkau memilih menjadi seperti burung yang lemah dan diberi makan, bukan menjadi burung yang kuat dan memberi makan? Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah ﷺ, ‘Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah?’ Seorang mukmin sejati senantiasa mengejar derajat yang lebih tinggi dalam segala hal, hingga ia mencapai tingkat Al-Abrar.”
Tersentuh dengan perkataan itu, Syaqiq pun memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata,
“Engkau adalah guru kami, wahai Abu Ishaq.”
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”
Mendengar kisah itu, Ibrahim bin Adham pun berkata kepadanya…
(—dan kisah pun berlanjut, penuh hikmah tentang pilihan antara menjadi burung yang diberi makan atau menjadi burung yang memberi makan).
(dari buku 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah)
Penutup:
Kisah ini menyimpan pelajaran mendalam tentang makna tawakal dan peran aktif dalam memberi manfaat kepada sesama. Menjadi hamba yang bertawakal bukan berarti pasif, melainkan siap menjadi tangan yang memberi—dengan iman, hikmah, dan amal.
(sumber hajinews.go.id).