Oleh: Bustami Rahman, Gubes Emiritus
Indonesia ini milik kita bersama. Bukan milik perorangan atau milik segelintir orang, atau bahkan milik sebagian dari rakyat. Hak dan kewajiban melekat pada diri kita warga Indonesia setiap orang.
Jika Negara dan Bangsa ini tertusuk duri, maka tertusuk pula diri tiap warganegara. Itu esensi sederhana dari apa yang kita sebut semangat atau ghirah nasionalisme Indonesia.
Tahukah kita bahwa terakhir ini bangsa dan negara ini dalam bahaya? Anda tidak usah berpikir terlalu dalam tentang intervensi asing, atau ancaman perang dunia ketiga. Anda cukup berpikir sederhana saja. Sebagai dosen senior saya selalu menggugah kesadaran mahasiswa saya di semua tingkatan S1, S2 dan S3. Sederhana saja. Sadar akan dirinya dulu. Jujur kepada dirinya dulu, rajin kepada dirinya dulu, amanah kepada dirinya dulu, istiqamah kepada dirinya dulu.
Mahasiswa adalah remaja dewasa yang tidak menanggung beban atas pribadinya. Seorang remaja yang juga tidak dibebankan oleh orangtuanya neko-neko. Hanya, “nak semoga kelak kau jadi orang”.
Telah lebih dari setahun ini, anak-anak remaja ini bersuara lantang. Mereka ini sabar sekali. Dengan bekal seperangkat sound system berteriak lantang sampai ke malam hari. Saya sebagai guru besar mereka yang sekaligus mantan aktivis 66, 74, dan 98 bergumam dalam hati. Kok luar biasa sabarnya mereka sekarang ini. Masa lalu, dengan dua kali gebrakan besar, perubahan segera terjadi.
Wahai adik-adikku yang sekarang memegang kekuasaan, anda sadarlah. Tidak perlu berlama untuk bertahan dan berterusan dalam sikap dan perilaku berlebihan. Apalagi sampai melampaui batas. Sebagai guru senior dan mantan aktivis, feeling saya mengatakan, sudahlah. Ikuti saja apa yang dinuranikan oleh anak-anak remaja yang minim berdosa itu. Sudahlah. Jangan sampai menunggu pada akhirnya semua kita, ya semuanya akan bertindak berlebihan dan melampaui batas.
Semoga tidak, Allah Maha Penyayang dan Maha Melindungi. (tom).