Google search engine
HomeNasionalKeracunan MBG, Akankah Berlanjut

Keracunan MBG, Akankah Berlanjut

Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Jumat bakda sholat asar, (26/2025). Saya sedang dalam perjalanan dari Dusun Sundul, Desa Krajan, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan. Jalanan lengang, udara sejuk, dan hamparan padi menguning di kiri-kanan jalan seolah menyambut musim panen dengan senyum para petani. Harga gabah stabil di angka enam ribu hingga enam ribu lima ratus. Ada rasa syukur yang mengalir di antara batang-batang padi yang merunduk.

Namun di tengah alam Parang, lereng Gunung Lawu, sebuah video masuk ke WhatsApp saya. Seorang ibu pejabat negara menangis. Tangisan yang bukan sekadar air mata. Tangisan yang membawa beban seluruh negeri. Tangisan karena terulang lagi: kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Dari hati saya yang terdalam saya mohon maaf, atas nama BGN, atas nama seluruh SPPG di Indonesia, saya mohon maaf. Saya seorang ibu, melihat gambar-gambar di video, sedih hati saya,” pinta Mbak Nanik S. Dayeng, Wakil Kepala BGN.

Saya terdiam. Sulit menulis. Karena ini bukan soal data. Ini soal anak-anak kita. Soal nyawa generasi masa depan. Soal kepercayaan masyarakat yang mulai retak.

Mas Sarmin, pengurus SD swasta di Sundul Parang Magetan, juga gelisah. Ia khawatir MBG yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadi musibah. Di beberapa daerah, para orang tua mulai melarang anak-anaknya ikut makan dari program MBG. Trauma mulai tumbuh. Akankah ini menjadi trauma nasional?

Saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu dengan angka. Saya ingin menjawabnya dengan hati. Menjawab dengan do’a.

Trauma itu lahir dari dapur. Dapur andalan program Presiden Prabowo. Yaitu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Di balik panci-panci besar dan ompreng-ompreng yang berjejer, ada relawan yang bekerja sejak tengah malam. Ada yang terlatih. Ada yang terburu-buru. Ada yang ingin melayani lebih dari 3500 porsi, padahal pendidikan pelatihan hanya tiga bulan saja.

Saya teringat video dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia bicara soal waktu masak. “Biasanya kalau pesenan misalnya 50, itu mungkin jam setengah lima pagi sudah masak, nanti dimakan jam delapan, apalagi jam sepuluh pagi.” Ia tidak bicara soal teori. Ia bicara soal kenyataan.

Waktu masak yang terlalu lama. Penyimpanan yang tidak ideal. Beban kerja yang tidak seimbang. Semua itu bisa menjadi pintu masuk bagi bakteri. Kontaminasi mikrobiologis, kata para ahli.

Saya pernah Membersamai para relawan SPPG Kedungwaru, Tulungagung. Mereka melayani 3500 ompreng setiap hari. Namun tidak ada keluhan. Tidak ada kepanikan. Karena mereka tahu cara membagi tugas. Mereka tahu cara menjaga waktu. Mereka tahu bahwa makanan bukan sekadar nasi dan lauk. Makanan adalah amanah. Yang harus ditunaikan dengan tulus.

Tapi tidak semua kasatpel, ahli gizi, dan relawan SPPG berkhidmad tulus. Ada yang baru lulus. Ada yang belum terbiasa dengan berkhidmat besar. Maka 3500 porsi terasa beban berat. Beban kerja menjadi tekanan. Tekanan melahirkan kelalaian. Kelalaian menjadi kecerobohan. Output asupan menjadi tidak layak. Anak-anak menjadi trauma.

Di sisi lain, ada mitra BGN yang bermain angka. Ada oknum kasatpel yang memanipulasi data. Hasilnya: asupan makanan dari dapur SPPG sangat minimalis. Lalu tersebarlah video dan berita di media online. Sebagian media memberitakan dengan cara hiperbola. Dampaknya: kehebohan.

Saya pernah menulis di media online: jika ada keracunan, jangan panik. Tapi saya tahu, itu sulit dijalani oleh para orang tua. Karena panik adalah reaksi alami saat anaknya muntah, pusing, lemas, dan akhirnya masuk rumah sakit.

Para pakar tidak menyarankan MBG ditutup. Kecuali SPPG yang bermasalah. Tutup saja. Tapi jangan matikan semangatnya. Mereka mengusulkan perubahan regulasi. Libatkan kantin sekolah. Libatkan koperasi pesantren. Libatkan dapur-dapur yang sudah terbiasa melayani anak-anak.

BGN tetap bisa menetapkan standar gizi. Melakukan pengawasan. Melakukan evaluasi. Menu dirancang oleh Kasatpel dan ahli gizi di SPPG kecamatan. Keuangan dikelola oleh akuntan SPPG kecamatan.

Semua sepakat, MBG adalah wujud tulus dari program Presiden Prabowo untuk anak-anak Indonesia. Tapi niat baik saja tidak cukup. Harus ada sistem. Harus ada pelatihan. Harus ada pengawasan. Harus ada doa. Doa wajib masuk sebagai SOP.

Karena anak-anak tidak hanya butuh makan. Mereka butuh rasa aman. Rasa aman karena doa.

Dan rasa aman itu, mampu menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan yang dibangun dari dapur SPPG. Dari tangan-tangan relawan yang tulus. Dari waktu masak yang tepat. Dari ompreng yang bersih. Dari komunikasi yang jujur. Dari hati yang selalu wirid dan doa.

Semoga MBG tidak berakhir sebagai trauma. Tapi tumbuh sebagai teladan. Teladan pelayanan yang khidmat. Teladan sistem yang amanah. Teladan bangsa yang menjaga anak-anaknya dengan cinta dan doa. (imr).

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments