Monday, March 17, 2025
Google search engine
HomeTausiyahKeutamaan Bulan Sya'ban/Ruwah

Keutamaan Bulan Sya’ban/Ruwah

Alhamdulilah Insya Alloh hari jumat tgl 31 januari 2025 akan bertepatan dg tgl 1 syakban 1446h.
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang tidak terhingga. Kalau kita mau hitung nikmat-nikmat Allah, maka kita tidak akan bisa dan tidak akan mampu menghitungnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌﱠ

“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya.Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim/14: 34]

Kalau kita bandingkan antara nikmat-nikmat Allah yang kita peroleh dengan musibah, pasti yang banyak adalah nikmat.Adapun musibah hanya sebentar tidak lama.
Di antara nikmat Allah saat ini kita hampir sekarang berada di bulan Sya’ban/ruwah.
Para alim ulama kita beritahu ada banyak beberapa Amalan baik yg lakukan di bulan sya’ban

DEFINISI BULAN SYA’BAN
Dinamakan Sya’baan ( شَعْبَانَ ) –diambil dari lafazh شَعْبٌ yang artinya kelompok atau golongan– karena orang-orang Arab dahulu pada bulan tersebut berpencar-pencar (  يَتَشَاعَب) untuk mencari sumber air. Juga karena mereka berpisah-pisah ( تَشَاعُب / terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban karena bulan tersebut muncul ( شَعَبَ ) di antara dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan. Bentuk jamaknya adalah شَعَبَنَات dan شَعَابِيْن. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dinamakan Sya’ban karena sibuknya mereka mencari air atau sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia. Dan ada juga yang berpendapat selain itu.”Wallaahu a’lam.

KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berpuasa di Bulan Sya’ban

“Rasulullah SAW biasa berpuasa di bulan Sya’ban lebih banyak daripada bulan lainnya, kecuali bulan Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka; dan pernah beliau senantiasa berbuka hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa. Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan,

…وَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِـيْ شَعْبَانَ.

“Aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan, kecuali Ramadhan. Dan aku tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan-bulan yang lain melainkan pada bulan Sya’ban.”[2]

عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا  حَدَّثَتْهُ قَالَتْ:  لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَصُوْمُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، وَكَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، وَكَانَ يَقُوْلُ: خُذُوْا مِنَ الْعَمَلِ مَاتُطِيْقُوْنَ، فَإِنَّ اللهَ لَايَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا، وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم  مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

Dari Abu Salamah, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah menceritakan kepadanya, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban sepenuhnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lakukanlah amalan (sunnah) semampu kamu. Sesungguhnya Allah tidak akan merasa bosan (terhadap amal yang terus-menerus kalian lakukan), hingga kalianlah yang merasa bosan.’Shalat yang paling dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat yang dikerjakan secara terus-menerus (konsisten), walaupun hanya sedikit.Apabila beliau mengerjakan suatu shalat, beliau mengerjakannya secara terus-menerus (konsisten).”[3]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُوْل:  كَانَ أَحَبُّ الشُّهُوْرِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانَ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانِ .

Dari Abdullah bin Abi Qays, bahwasanya dia mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: “Bulan yang paling disukai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban. Karena itulah, beliau menyambungkan puasa pada bulan itu dengan puasa bulan Ramadhan dan Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sangat membantu badan dan hati untuk lebih siap menyambut bulan Ramadhan dalam menjalani ketaatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala serta bagi yg hutang puasanya pd saat romadhon tahun kemarin bisa dibayar atau qodho pada bulan syakban tahun ini.

2. Bulan Sya’ban adalah Bulan Diangkatnya Amal-amal Manusia kepada Allah Ta’ala

Hal ini berdasarkan hadits dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa di suatu bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

ذٰلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِـيْ وَأَنَا صَائِمٌ.

“Bulan itu, banyak manusia yang lalai, yaitu (bulan) antara Rajab dan Ramadhan, bulan diangkatnya amal-amal kepada Rabb semesta alam, dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.

3.Malam Nisfu Sya’ban

Salah satu keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya yang paling dikenal adalah malam Nisfu Sya’ban, yang merupakan malam pertengahan bulan Sya’ban. Pada malam ini, Allah SWT turun ke langit dunia dan memberikan ampunan kepada hamba-Nya yang memohon ampunan dengan tulus. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:

“Pada malam Nisfu Sya’ban, Allah SWT turun ke langit dunia dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang memohon ampunan, kecuali orang yang musyrik atau dalam permusuhan.” (HR. Al-Baihaqi)

Malam ini adalah waktu yang sangat baik untuk memperbanyak doa, memohon ampunan, dan beribadah kepada Allah SWT. Ini adalah salah satu keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya yang sangat dianjurkan untuk dimanfaatkan sebaik mungkin.
Malam Nisfu Sya’ban adalah salah satu malam yang sangat istimewa dalam bulan Sya’ban. Pada malam ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak doa dan memohon ampunan. Keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya pada malam Nisfu Sya’ban sangat besar, karena Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang memohon ampunan dengan tulus.

4.Bulan yang Mendekatkan Diri kepada Allah

Selain itu, bulan Sya’ban juga merupakan waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui berbagai amalan, seperti sholat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir. Keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya bukan hanya terbatas pada puasa dan malam Nisfu Sya’ban saja, tetapi juga pada segala bentuk ibadah yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Bulan ini memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk memperbaiki hubungan mereka dengan Allah SWT, dengan meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan.
Adapun beberapa
Amalan-Amalan yang Dianjurkan pada Bulan Sya’ban
Sebagai bulan yang penuh dengan keberkahan, ada beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan selama bulan Sya’ban.

1.Sholat Sunnah dan Memperbanyak Dzikir

Selain puasa, memperbanyak sholat sunnah dan dzikir juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan pada bulan Sya’ban. Rasulullah SAW sendiri selalu memperbanyak ibadah sunnah pada bulan ini, seperti sholat tahajud dan sholat dhuha. Dengan melaksanakan sholat sunnah, seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, memohon petunjuk-Nya, dan memperbanyak dzikir untuk membersihkan hati.

2.Membaca Al-Qur’an

Bulan Sya’ban juga merupakan waktu yang tepat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di bulan Sya’ban memberikan keberkahan yang besar, karena dalam setiap huruf yang dibaca, seorang Muslim akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Selain itu, membaca Al-Qur’an juga dapat meningkatkan kecintaan dan penghayatan terhadap wahyu Allah SWT, serta memperkuat iman.

3.Memperbanyak sedekah, baik berupa uang maupun makanan.
Membantu dan menolong orang-orang susah, orang-orang yang sakit, orang-orang yang mengalami kesulitan, mendamaikan orang yang bersengketa.

Menurut para ulama dari kalangan NU salah satunya adalah
Prof Dr H Nur Khoirin MAg Atau salah satu Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat

Bulan Sya’ban, atau orang Jawa,sumatera betawi dll menyebutnya sebagai bulan Ruwah. Diantara tradisi yang masih lestari dan berjalan adalah Ruwahan, yang berasal dari kata arwah (ruh), yaitu upacara selametan atau kenduren dengan mengundang para tetangga dan saudara dekat untuk bersama-sama mendoakan kepada arwah para leluhur yang sudah meninggal, agar diberikan pengampunan dan kehidupan yang penuh nikmat di alam kuburnya.

Upacara Ruwahan yang ditandai dengan pembagian berkat yg dilakukan orang2 jawa yang berisi aneka menu seperti ketan, apem, pisang raja, dan lain-lain, biasanya dilakukan baik oleh keluarga secara individu, maupun oleh jamaah secara kolektif (ruwahan massal), seperti oleh masjid, musholla, atau kelompok masyarakat tertentu.

Yang sering menjadi pertanyaan adalah, apakah tradisi Ruwahan itu termasuk sunnah yang dianjurkan ataukah bid’ah yang harus ditinggalkan?. Oleh karena itu dalam tulisan kecil ini akan diuraikan dua masalah yang terkait, yaitu tentang apakah mendoakan orang yang sudah mati itu diperbolehkan dan bermanfaat? Dan apakah mendoakan khusus dibulan Ruwah ada tuntunannya?.

Mendoakan orang yang sudah mati atau meninggal

Dimasyarakat masih banyak pertanyaan, apakah mendoakan orang mati itu bermanfaat bagi si mati, dan apakah doanya sampai?. Ada masyarakat yang berkeyakinan, bahwa tidak ada manfaatnya mendoakan orang yang sudah mati, karena amalnya sudah terputus. Sehingga ada orang yang tidak mau menghadiri tahlilan yang didalamnya mendoakan orang mati. Atau dia hadir tetapi dia diam dan tidak ikut berdoa.

Bahkan ada yang ekstrem, tidak mau makan berkat dari selametan. Ketika mendapat kiriman berkat, apapun isinya ia buang atau dibuat makanan ayam. Pendapat ini tentu tidak benar, tidak berdasar, dan juga tidak memiliki perasaan kebersamaan.

Ada banyak dalil, baik ayat Alquran, Hadits Nabi saw, maupun pendapat para ulama’, yang menyatakan, bahwa doa orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal adalah bermanfaat dan diperintahkan. Alquran memerintahkan agar seorang muslim selalu berdoa meminta ampun atas dosa-dosanya sendiri dan saudara-saudaranya yang telah beriman terdahulu (QS. Al Hasyr : 10).

Saudara-saudaranya yang telah beriman lebih dahulu, artinya adalah orang-orang yang sudah meninggal. Seorang anak diperintahkan berdoa, “Ya Rabb, ampuni dosa-dosaku, dosa-dosa kedua orang tuaku, berilah rahmat sebagaimana mereka berdua mendidikku ketika masih kecil”. Setiap Jum’atan khatib juga selalu memanjatkan doanya, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa muslimin muslimat mu’minin mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat”.

Masih banyak lagi doa-doa, tidak hanya meminta ampunan, tetapi juga meminta kebaikan hidup di dunia dan di akhirat, rizqi yang halalan thayiban, diberikan kesehatan yang sempurna, ilmu yang bermanfaat, pemimpin-pemimpin yang adil, anak-anak yang shalih, dan setiap akatifitas apapun yang baik harus disertai dengan doa.

Doa adalah inti ibadah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Hadits nomor 2969, Rasulullah saw bersabda : Ad Du’a mukhkhul ibadah. Hakikat ibadah adalah panjatan doa kepada Allah swt. Seluruh bacaan dalam shalat adalah doa, puasa, zakat, dan haji adalah media agar doa-doa dikabulkan. Dalam Islam diajarkan tentang berbagai doa, dari mulai bangun tidur, mandi, memakai baju, bercermin, makan, masuk rumah, masuk wc, berhubungan suami istri, sampai tidur lagi, semua ada doanya.

Diajarkan juga adab berdoa, lafadz-lafadz tertentu, waktu-waktu dan tempat-tempat khusus yang mustajab untuk berdoa, termasuk hal-hal yang menyebabkan doa tidak dikabulkan. Doa sendiri adalah ibadah yang diperintahkan, sebagaimana firman Allah swt : “Berdoalah kepada-Ku pasti Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (tidak mau berdoa), mereka akan masuk ke neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin: 60).

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa berdoa hukumnya wajib. Orang yang berdoa adalah pertanda ia menyembah, menundukkan diri, dan menggantungkan hidup dan matinya lillahi rabbil ‘alamin. Tidak mungkin diperintahkan berdoa jika tidak ada manfaatnya atau tidak sampai.

Maka aneh jika ada orang berpendapat atau meyakini bahwa doa kepada orang mati tidak akan sampai dan tidak bermanfaat. Lalu bagaimana sikap atau perlakukan kita yang masih hidup kepada orang tua kita yang sudah mati? Sungguh pendapat yang tidak berdasar dan tidak masuk akal. Kita tidak bisa mebayangkan bagaimana beragama tanpa doa.

Ruwahan bid’ah?
Banyak yang berpendapat bahwa tradisi ruwahan adalah bid’ah yang harus ditinggalkan, karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Untuk menjawab apakah Ruwahan bid’ah atau bukan, maka perlu ditinjau tentang pengertian bid’ah itu sendiri.

Dalam Kamus Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzur, berasal dari kata bada’a atau idtada’a, yang berarti membuat atau memulai sesuatu yang baru dalam hal apa saja. Sedangkan al bid’atu berarti sesuatu yang baru. Misalnya disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 117, badi’us samawati war ardhi (Allah Pencipta langit dan bumi). Maksudnya, llah menciptakan tanpa ada contoh atau hal yang sama sebelumnya.

Sedangkan menurut para ulama, bid’ah dikhususkan hanya dalam masalah agama atau ibadah. Menurut KH. Hasyim Asyari dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bid’ah adalah pembaharuan dalam perkara agama seakan hal tersebut merupakan ibadah baru dan bagian dari agama, padahal secara hakikat dan bentukanya bukan ibadah. Termasuk bid’ah misalnya menambah jumlah rakaat dalam shalat atau membuat bentuk ibadah sendiri yang tidak ada tuntunan.

Apabila sesuatu yang baru itu tidak menyangkut ibadah mahdhah dan tidak menyalahi aqidah (tidak musyrik), maka tidak termasuk bid’ah yang dilarang. Pembaharuan dalam bidang muamalah dan teknologi, seperti penggunaan televisi, radio, telepon, microphon, komputer, dan sebagainya, yang membawa kemaslahatan umat dan mempermudah ibadah justru dianjurkan, sebagai bid’ah hasanah.

Oleh krn itu
tradisi ruwahan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa, Melayu Palembang, dan Islam. Orang-orang yang memperingati ruwahan biasanya melakukan ziarah untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.

Tradisi ruwahan menjadi salah satu ciri khas yang kerap dilakukan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Biasanya, ruwahan dihiasi dengan acara kumpul-kumpul bersama keluarga dan sanak saudara.

Tujuannya adalah untuk bersilaturahmi dan saling meminta maaf sebelum menunaikan ibadah puasa sebagaimana yg telah dijelaskan diatas ttg amalan2 dibulan sya’ban.

Saat ruwahan diadakan, tuan rumah akan menyajikan makanan yang beragam untuk tetangga sekitar. Tradisi tersebut diisi dengan sejumlah rangkaian acara, mulai dari pengajian hingga doa bersama.

Tidak hanya itu, tuan rumah juga biasa mengundang keluarga, kerabat, dan sanak saudara. Ruwahan dapat dijadikan menjadi media untuk mendoakan sekaligus meningkatkan interaksi sosial masyarakat.

Tradisi tersebut bersumber dari ajaran agama Islam yang umumnya dilaksanakan pada bulan Sya’ban.

Jadi jika ditelisik lebih jauh, ruwahan tetap mengandung banyak sekali nilai positif.
tradisi ini mengandung nilai kearifan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan(hablum minalloh), manusia dengan sesamanya(hablum minan nas), dan manusia dengan lingkungan(hablum minal alam)

Tradisi ruwahan juga menjadi wujud kearifan lokal yang syarat akan makna.Tradisi ini dapat mempererat tali persaudaraan, sikap gotong royong, sedekah, serta menjalin komunikasi yang baik antar warga masyarakat.

Jadi Ruwahan, meskipun tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi saw dan para sahabat, tetapi tidak bisa disebut bid’ah yang dilarang. Dalam acara Ruwahan,karena yang dibaca adalah dlm acara ruwahan berisi kalimah-kalimah thayyibah, seperti istighfar, tahlil, tahmid, tasbih, shalawat Nabi, dan ayat-ayat Al qur’an, yang sangat dianjurkan banyak membacanya. Ketika selesai berdoa, maka yang hadir dibagi berkah sebagai bentuk shadaqah dan hadiyah. Maka Ruwahan adalah tradisi yang positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berkirim doa untuk orang yang sudah meninggal ini tentu bisa kapan saja. Tetapi bulan Ruwah ini dianggap sekedar momen yang baik, sebagaimana momen-momen yang lain. Membuat momen adalah tidak dilarang, sepanjang tidak diyakini bahwa hari atau bulan tertentu memiliki kekuatan/magis, sedangkan waktu yang lain tidak.
Misalnya meyakini jika menikah di bulan Muharram/Syura, maka akan mendapatkan celaka nantinya. Keyakinan ini yang dilarang, sebab akan terjerumus pada perbuatan musyrik.

Wallohu A’lam
Semoga bermanfaat🙏🥰

(gwa-da’wah-II).

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments