Oleh: Dadang Irsyam | Human-Tech Storyteller
Ia pulang malam itu dengan punggung berat dan dada yang lebih berat.
Kopi dingin di lengan kiri, tas kerja di bahu kanan.
Lelah seperti biasa.
Sales memang pekerjaan yang menuntut muka tetap manis, meski badan sedang panas tiris.
Ia biasa bertemu banyak perempuan di kantor: customer service yang suka pakai parfum manis, saleswomen yang selalu tertawa pada waktunya, atau klien-klien yang berdandan rapi dan sopan.
“Tehna manis, kan, Kang…?”
Senyum saleswoman itu mekar saat Rizki meneguk teh di gelas kecil.
Padahal semua orang tahu, teh di Sunda itu tawar.
Perempuan itu mengucapkannya hampir tiap hari.
Dan Rizki, akhirnya sadar…
Ada rasa manis yang tidak berasal dari gula.
Ada jalan lain menuju diabetes.
Tapi tidak pernah sekalipun ada niat menyimpang.
Ia mencintai istrinya.
Ia tidak pernah menyentuh wanita lain, tidak pernah membalas godaan, tidak pernah main mata.
Ia lelaki yang, di atas kertas, setia.
Namun setia itu ternyata bukan cuma urusan tubuh.
Kadang, justru yang paling sulit adalah menjaga pikiran.
Malam itu, ia duduk sendiri di ruang tamu.
Lampu temaram. Kaus dalam dan celana training.
Ia buka HP.
Awalnya hanya cari hiburan—yang lucu-lucu.
Video cara pelihara tokek, tips bikin kopi rumahan, akun kucing yang galak tapi gemesin.
Hewan-hewan kecil itu semacam teman: diam, setia, dan tidak menuntut.
Tapi lalu, TikTok tahu lebih banyak dari dirinya sendiri.
Algoritma seperti mengerti rasa lelah yang butuh distraksi.
Beranda mulai dipenuhi video-video yang… agak beda.
Goyangan pelan. Musik mendayu. Caption genit dan tatapan yang seperti bicara langsung ke kamera—dan ke dalam dirinya.
“Kan cuma liat doang,” pikirnya.
“Cuma buat ngilangin penat.”
Satu dua kali.
Tapi malam-malam berikutnya jadi kebiasaan.
Kadang, setelah anak dan istri tidur, ia rebahan di ruang tamu gelap dan diam.
Scroll… scroll…
Satu video. Lalu satu lagi. Lalu yang dulu sempat ia simpan diam-diam—entah kenapa ingin dilihat ulang.
Bukan film dewasa.
Cuma… perempuan.
Dengan angle lembut. Gerakan lambat. Suara pelan.
Yang entah kenapa terasa lebih mudah dinikmati daripada realita yang cerewet, yang capek, yang kadang membuatnya merasa bersalah tanpa tahu sebab.
—
📱 Psikologi modern menyebut ini micro-cheating.
Bukan selingkuh fisik, bukan pula affair di hotel-hotel mahal.
Tapi bentuk pengkhianatan kecil yang nyaris tak terlihat:
– Digital Infidelity, saat hasrat, imajinasi, dan keintiman kita kita berikan ke layar—bukan ke pasangan.
– Emotional Affair, saat rasa nyaman malah muncul dari komentar orang asing atau senyum virtual yang tidak pernah menuntut.
– Visual Cheating, saat satu pandangan terlalu dinikmati, dan kita mulai menyimpan wajah itu dalam kepala.
Selingkuh tak selalu butuh pelukan.
Kadang cukup satu layar yang kita nikmati diam-diam, tiap malam.
Atau seperti kata Esther Perel:
> “When you look for desire outside, even if you’re still inside the house.”
“Saat kau mencari hasrat di luar, meski tubuhmu masih tinggal di rumah.”
Dan jauh sebelum istilah-istilah itu ada, Islam telah mengatakannya dengan jernih:
> “Zina mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina hati adalah keinginan, dan kemaluan bisa membenarkan atau mendustakan itu semua.”
(HR. Bukhari & Muslim)
—
Malam itu, setelah menutup layar HP-nya, ia berjalan pelan ke kamar.
Sunyi. Udara sedikit lembap.
Ia lihat istrinya tidur membelakangi, memeluk anak mereka yang juga terlelap.
Rambutnya berantakan. Wajahnya tanpa rias.
Tidak cantik seperti di IG story, tidak seperti di awal pernikahan.
Kadang cerewet. Kadang ngambek. Kadang seperti lupa cara tertawa. Rupanya mitos nenek lampir yang sering ia lihat dulu di film Disney, nyata adanya. Cuma yang versi ini Rizki tetap sayang.
Ia perempuan yang sama yang dulu ia kejar habis-habisan.
Yang pernah menungguinya pulang dengan mata sembab karena masakannya tak disentuh.
Yang pernah menyusui anak mereka sambil nangis karena ASI seret dan mentalnya jatuh.
Yang tetap masak walau dompet kosong.
Dan kini, anak mereka memeluk tubuh ibunya erat. Seperti tahu, di sanalah tempat paling aman di dunia.
Ia melihat itu semua.
Dan hatinya seperti dipeluk balik.
Seperti ditampar halus oleh kesadaran:
“Apa yang kau cari di luar, padahal rumahmu sehangat ini?”
Air mata kecil mengalir. Tak terduga.
Ia dekati tempat tidur, sentuh kening anaknya, dan peluk istrinya dari belakang.
Tanpa kata. Tapi malam itu, ia berjanji.
Ia ingin jadi ayah yang dibanggakan.
Suami yang pulang bukan cuma badan, tapi juga pikirannya.
Bukan karena kariernya.
Tapi karena kesetiaannya.
Bahkan sejak dari pikiran.
(gwa-dpw-bakomubin).