Sasmita Loka
Sore hingga malam tadi, 29 September 2024, saya menemani kawan-kawan AKI Malam dan tim produksi di Musium Sasmita Loka Jenderal Anumerta Ahmad Yani di Jalan Terusan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Kami memang sedang menggelar siaran AKI Malam Edisi Spesial, mengenang Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Ibu Amelia Yani, Pak Untung Yani, dan Mbak Jajang C Noer dalam acara talkshow itu. Salah satunya, kami diperlihatkan buku agenda Pak Yani yang berisi catatan-catatan mantan Menteri Panglima Angkatan Darat itu saat rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi, atau Wanjakti, yang kemudian diinsinuasikan bahwa rapat-rapat itu adalah rapat Dewan Jenderal, yang dikaitkan dokumen Gilchrist oleh PKI.
Padahal, menurut bekas Intel Cekoslovakia Ladislav Bittman dalam bukunya, Permainan Curang, Peranan Intelijen Cekoslovakia dalam Perang Politik Uni Soviet, Dokumen Gilchrist merupakan dokumen palsu yang dirancang Mayor Lauda, seorang perwira Intel Cekoslovakia, dengan tujuan untuk memancing pertikaian antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet.
Dokumen palsu itu seolah-olah merupakan laporan resmi Duta Besar Inggris di Indonesia, Sir Andrew Gilchrist kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Inggris Sir Harold Cacia. Lucunya, surat yang konon resmi dan memakai kop surat yang sama dengan kop surat Kedutaan Besar Ok nggris itu banyak terdapat kesalahan elementer dari sisi tata bahas Inggris.
Menurut Biro Pusat Intelijen (BPI), Dokumen Gilchrist ditemukan saat penggerebekan rumah Ketua Asosiasi Importir Film Amerika Serikat Bill Palmer di vilanya di Gunung Mas, Puncak, pada 1 April 1965 oleh Pemuda Rakyat. Dokumen itu lalu disampaikan ke Kepala BPI Dr Subandrio, dan diterima pada 15 Mei 1965.
Padahal, menurut Ladislav Bittman, dokumen palsu itu dibuat Mayor Lauda, dan kemudian sengaja dibocorkan lewat seorang diplomat Indonesia yang kemudian dikirimkan ke Subandrio.
Dalam dokumen Gilchrist ada frasa yang menarik, yakni istilah Our Local Army Friends. Oleh BPI, Our Local Army Friend itu ditafsirkan sebagai para jenderal Angkatan Darat yang merupakan agen Amerika Serikat.
Sementara menurut Ibu Amelia Yani, frasa itu memang sempat disebut Duta Besar Inggris dalam surat ucapan terima kasih Kedutaan Besar Inggris kepada Menteri Panglima TNI AD karena TNI AD telah membantu evakuasi staf kedutaan besar Inggris saat diserbu massa yang menentang pembentukan Malaysia oleh Inggris, pada 16 September 1963.
Ibu Amelia Yani juga menunjukkan salah satu notulensi rapat Wanjakti yang dicatat Pak Yani dalam buku agendanya. Salah satu yang dibahas dalam rapat Wanjakti itu adalah usul kenaikan pangkat Kolonel Latif, Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya yang kemudian terlibat dalam G 30 S / PKI.
Dalam rapat itu, dengan menimbang pendapat dari beberapa Jenderal, diputuskan bahwa promosi Latief sebagai Brigadir Jenderal ditunda dulu. Konon hasil rapat Wanjakti yang menunda kenaikan pangkatnya itu menjadi alasan pribadi Kolonel Latief yang sakit hati, sehingga melibatkan diri dalam G 30 S / PKI.
Ketika ditanya tentang pencabutan TAP MPRS nomor XXXIII/MPRS 1967 tentang pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno karena dinilai telah berkhianat dan mendukung pemberontakan G 30 S PKI, oleh Pemerintah dan DPR/MPR, Pak Untung Yani mengatakan bahwa jika memang itu sudah diputuskan, itu terserah pemerintah saja. “Barangkali mereka lebih tahu dan lebih pinter, sehingga memutuskan seperti itu,” ujarnya dengan getir.
Sementara itu, Ibu Amelia Yani menjelaskan bahwa Sebagai Panglima Tertinggi TNI, pasti Bung Karno tahu apa yang sedang terjadi saat itu. Sementara dalam situasi genting seperti itu, Bung Karno bahkan berada di lingkungan bandara Halim Perdanakusumah, dan dekat dengan para pemimpin pemberontakan G 30 S/PKI, “Termasuk bersama Brigadir Jenderal Supardjo yang ditampar dan dibilang jenderal tai oleh Bung Karno gara-gara kegagalan G 30 S / PKI,” kata Ibu Amelia.
Bagi keluarga Jenderal Ahmad Yani, kebijakan Bung Karno yang belakangan menjadi lebih percaya kepada PKI sangat jelas. Salah satunya ketika Sang Pemimpin Besar revolusi itu menjadikan orang-orang PKI sebagai orang-orang dekatnya. Padahal, semula Bung Karno sangat dekat kepada Pak Yani.
Bahkan ketika isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist mencuat, Presiden Soekarno pun tampak lebih percaya kepada laporan PKI dari pada penjelasan Pak Yani. “Kalau begini terus, bisa-bisa Bapak (Presiden) menjadi lebih percaya laporan mereka,” kata Ibu Amelia mengutip salah satu catatan Pak Yani dalam agendanya.
Ibu Amelia Yani pun mengaku masih ingat, beberapa hari setelah peristiwa penculikan para jenderal korban G 30 S / PKI itu, ada siaran TVRI ketika Presiden Soekarno bertemu dengan para wartawan sambil merokok dan tertawa-tawa dan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Lobang Buaya itu adalah “A rimpletje in de Ocean…” Atau riak kecil di lautan.
Menurut Bu Amelia, Bung Karno pun tidak pernah menengok keluarga Pak Yani. “Baru setahun kemudian Bung Karno ziarah ke makam Pak Yani di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan menangis di sana. Mungkin dia menyesal. Tapi sudah terlambat, dan tak ada gunanya,” kata mantan Duta Besar di Bosnia Herzegovina itu. (gwa-kb-pii-jatim).