Wednesday, July 9, 2025
Google search engine
HomeNasionalTARIK UTANG LUAR NEGERI UGAL UGALAN: Naiknya Cadev atau Bertambahnya Beban Rakyat

TARIK UTANG LUAR NEGERI UGAL UGALAN: Naiknya Cadev atau Bertambahnya Beban Rakyat

Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Pengurus KPEU MUI Pusat | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
Sidoarjo, 16 April 2025

Pendahuluan

Peningkatan cadangan devisa (cadev) sering kali dipandang sebagai indikator positif dari ketahanan ekonomi suatu negara. Namun, jika lonjakan cadev berasal dari penarikan utang luar negeri yang besar, maka hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang strategi pengelolaan fiskal dan moneter pemerintah, serta konsekuensinya bagi rakyat.

Data terbaru dari Bank Indonesia menyebutkan bahwa posisi cadev per akhir Maret 2025 mencapai US$157,1 miliar, naik US$2,6 miliar dibandingkan Februari 2025. Namun, sumber utama kenaikan ini bukan dari ekspor atau investasi asing langsung, melainkan dari penarikan utang luar negeri baru oleh pemerintah. Apakah ini strategi bijak di tengah ketidakpastian global?

Analisis Kritis

1. Kenaikan Cadev: Antara Kebutuhan dan Ketergantungan

Bank Indonesia menyebutkan bahwa kenaikan cadev dipicu oleh:
* Penerimaan pajak dan jasa,
* Penarikan utang luar negeri,
* Upaya stabilisasi nilai tukar rupiah.

Namun, fakta bahwa lonjakan US$2,6 miliar (setara Rp43,4 triliun) terutama berasal dari utang, menandakan bahwa ketahanan eksternal Indonesia masih sangat rentan terhadap pembiayaan dari luar negeri.

Jika dilihat dari data historis, dalam 5 tahun terakhir, setiap kali cadev naik tajam dalam waktu singkat, selalu diikuti oleh penarikan pinjaman luar negeri, baik bilateral, multilateral, maupun dari pasar obligasi global (global bonds).

2. Rasio Pembiayaan Impor dan Utang

BI menyebutkan bahwa posisi cadev kini setara dengan:
* 6,7 bulan impor, atau
* 6,5 bulan impor plus pembayaran utang pemerintah.

Ini memang di atas standar kecukupan internasional (sekitar 3 bulan), namun bila dilihat lebih cermat:
* Pembayaran utang luar negeri jangka pendek Indonesia mencapai hampir 40% dari total kewajiban luar negeri.
* Biaya bunga dan amortisasi utang kini mencapai lebih dari 20% dari total penerimaan negara.

Ini mengindikasikan bahwa kenaikan cadev bersifat semu, karena pada akhirnya digunakan untuk menutup kewajiban yang jatuh tempo, bukan hasil dari surplus transaksi berjalan.

3. Utang: Siapa yang Bayar dan Apa Konsekuensinya?

Utang luar negeri, apalagi dalam bentuk dolar AS, membawa beban ganda:
* Risiko nilai tukar: pelemahan rupiah otomatis meningkatkan beban pembayaran utang.
* Beban fiskal: APBN harus mengalokasikan dana besar untuk membayar bunga dan pokok utang.
* Beban rakyat: utang pemerintah adalah utang rakyat — dibayar lewat pajak, inflasi, dan pengetatan anggaran sosial.

Pertanyaannya: Apakah utang baru ini digunakan untuk kegiatan produktif yang menghasilkan devisa balik? Atau sekadar menambal defisit dan menjaga “stabilitas semu”?

4. Ketergantungan pada Portofolio Asing: Rawan Gejolak

Pernyataan BI bahwa “persepsi positif investor asing tetap terjaga” bisa menjadi pisau bermata dua. Karena:
* Sebagian besar investasi asing saat ini berbasis portofolio, bukan penanaman modal langsung (FDI).
* Artinya, mudah keluar masuk saat terjadi gejolak global, menciptakan volatilitas yang tinggi.

Dengan tingkat suku bunga global yang masih tinggi, risiko capital outflow dari Indonesia tetap tinggi.

Rekomendasi Strategis
1. Transparansi Utang dan Penggunaan Cadev: Pemerintah dan BI harus membuka detail asal-usul kenaikan cadev dan penggunaannya. Rakyat berhak tahu apakah uang itu dari utang, dan untuk apa dipakai.
2. Reorientasi Utang untuk Produktivitas: Utang luar negeri harus diarahkan hanya untuk sektor-sektor yang menciptakan devisa, seperti ekspor berbasis hilirisasi, bukan untuk subsidi jangka pendek atau tambal defisit.
3. Diversifikasi Sumber Cadev: Perkuat sumber cadangan devisa dari ekspor sektor riil, bukan dari utang dan hot money (modal asing jangka pendek).
4. Penguatan Kebijakan Fiskal dan Moneter Terkoordinasi: Pemerintah dan BI harus memiliki satu grand strategy menghadapi gejolak global, bukan solusi tambal-sulam berbasis utang.

Kesimpulan

Kenaikan cadangan devisa bisa menjadi kabar baik jika ditopang oleh fundamental ekonomi yang sehat, seperti ekspor kuat dan investasi langsung yang stabil. Namun jika hanya disokong oleh penarikan utang luar negeri secara ugal-ugalan, maka itu justru sinyal bahaya.

Indonesia membutuhkan kedaulatan fiskal dan moneter, bukan ketergantungan yang membebani generasi mendatang. Utang harus menjadi alat pembangunan, bukan lubang jebakan. Dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan harus bertumpu pada kekuatan sendiri, bukan pada belas kasih kreditur asing.

Daftar Pustaka:
* Bank Indonesia. (2025). Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Maret 2025. Jakarta: BI Press.
* Kementerian Keuangan RI. (2025). Data APBN dan Realisasi Utang. Jakarta: DJPPR.
* UNCTAD. (2024). World Investment Report 2024. Geneva: United Nations.
* IMF. (2024). International Financial Statistics Database.
* World Bank. (2023). Debt Sustainability Analysis Indonesia.

“Semoga tulisan ini jadi amal ilmu yang terus mengalir. Jika dirasa bermanfaat, silakan dibagikan. Mari kuatkan nurani bangsa dengan ilmu dan keberanian.”

Klik untuk baca: https://www.facebook.com/share/p/1Ea1jcdztV/?mibextid=wwXIfr

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments