Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Pengurus KPEU MUI Pusat | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
Sidoarjo, 19 April 2025
I. Pendahuluan
Lembaga Pendidikan Swasta (LPS) memainkan peran strategis dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Keberadaannya tidak hanya sebagai pelengkap sekolah negeri, tetapi seringkali justru menjadi pionir dalam pembinaan karakter, nilai keislaman, dan kualitas pendidikan berbasis visi ideologis dan nilai luhur.
Namun, di era modern yang ditandai oleh gelombang sekularisasi, individualisme, materialisme, dan krisis identitas generasi muda, LPS dihadapkan pada tantangan yang sangat kompleks. Mereka tidak hanya bersaing dalam aspek kuantitatif—jumlah murid, gedung, dan fasilitas—tetapi juga dituntut untuk tetap menjaga ruh pendidikan: adab, akhlak, dan integritas moral.
II. Tantangan Struktural dan Sosial Lembaga Pendidikan Swasta
2.1 Dominasi Jumlah Tapi Rentan secara Kualitas
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pada tahun 2023:
* Sekitar 50,23% SMA dan 74,56% SMK di Indonesia dikelola oleh Lembaga Pendidikan Swasta.
* Artinya, lebih dari setengah pendidikan menengah kita diselenggarakan oleh swasta.
Namun ironisnya, meski mendominasi secara kuantitatif, banyak LPS berada dalam posisi rentan dari sisi pembiayaan, sumber daya manusia (SDM), serta legitimasi sosial.
2.2 Penurunan Jumlah Siswa dan Keterbatasan Akses
Banyak LPS, khususnya di daerah pinggiran dan semi-perkotaan, mengalami penurunan jumlah peserta didik dari tahun ke tahun. Hal ini dipengaruhi oleh:
* Persepsi masyarakat bahwa sekolah negeri lebih terjangkau dan lebih menjanjikan masa depan.
* Lemahnya promosi dan citra publik LPS, terutama yang tidak memiliki pencapaian akademik unggul atau fasilitas mentereng.
* Masalah kepercayaan terhadap pengelolaan yayasan, transparansi keuangan, atau bahkan hubungan interpersonal antar guru dan wali murid.
2.3 Keterbatasan Dana dan Ketimpangan SDM
Sebagian besar LPS bergantung pada SPP bulanan, tanpa dana bantuan pemerintah yang memadai. Akibatnya:
* Gaji guru seringkali jauh dari layak, memengaruhi motivasi dan kualitas pengajaran.
* Investasi dalam pelatihan guru, pengembangan kurikulum, atau pembaruan sarana belajar menjadi minim.
* LPS tidak sanggup mempertahankan guru unggulan, yang akhirnya lebih memilih sekolah negeri atau institusi lain yang menawarkan kompensasi lebih baik.
2.4 Lunturnya Nilai Adab dan Akhlak
Salah satu tantangan paling serius adalah tergerusnya nilai-nilai moral dan etika dalam lingkungan sekolah:
* Siswa mulai kehilangan rasa hormat kepada guru.
* Guru pun kadang kehilangan integritas dan semangat mendidik.
* Budaya menghargai ilmu dan kejujuran digantikan dengan budaya instan, sekadar lulus, atau sekadar mengejar ranking.
* Terdapat kasus di mana LPS kehilangan magnet spiritualnya karena orientasi pendidikan berubah menjadi semata bisnis atau formalitas administrasi.
Inilah yang disebut “krisis ruhiyah” dalam pendidikan, yang bila dibiarkan akan menyebabkan runtuhnya marwah LPS sebagai lembaga pencetak generasi beradab.
III. Refleksi: Adab Bukan Sekadar Etika, Tapi Pondasi Peradaban
Kondisi di atas sejatinya bukan hanya masalah manajerial atau finansial. Lebih dalam dari itu, ini adalah krisis nilai dan visi pendidikan.
Mengutip Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki:
“Aku mengajarkan akhlak dan moral terlebih dahulu sebelum mengajarkan ilmu dan kitab.”
Ungkapan ini mengandung pesan mendalam: ilmu tanpa adab akan melahirkan kecerdasan yang merusak. Maka adab bukan aksesori dalam pendidikan, tapi fondasinya.
Mengapa Krisis Adab Harus Diwaspadai?
1. Adab adalah jembatan antara ilmu dan amal. Tanpa adab, ilmu tidak akan membuahkan manfaat.
2. Adab membentuk karakter generasi. Jika adab hilang, maka meskipun cerdas, siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang rakus, arogan, dan mudah tersesat.
3. Adab menentukan martabat lembaga. LPS yang menjunjung adab akan lebih dihormati masyarakat daripada LPS yang sekadar unggul akademik namun buruk dalam karakter.
4. Adab adalah kunci keberkahan. Banyak LPS yang “kecil secara ukuran” namun dihujani keberkahan karena adab para pendirinya dan keikhlasan para pengelolanya.
IV. Kesimpulan:
Krisis Lembaga Pendidikan Swasta bukan hanya soal bangunan dan dana. Ia menyangkut soal jiwa pendidikan yang memudar. Maka strategi revitalisasi LPS harus dimulai bukan dari membangun gedung yang megah, tapi dari membangun kembali adab dan marwah sebagai pondasi utama.
Langkah berikutnya harus mengarah pada penyusunan strategi strategis dan operasional untuk menghidupkan kembali adab dalam seluruh dimensi LPS—yang akan kita bahas dalam bagian berikutnya dari artikel ini.
Berikut adalah penjabaran lanjutan dari poin 4, 5, dan 6 yang telah diperjelas, diperdalam, dan diperkaya dengan analisis komprehensif serta dikaitkan secara kuat dengan visi besar LPS dalam mengembalikan marwah pendidikan Islam:
4.1. Pentingnya Adab dalam Pendidikan Islam
Dalam khazanah keilmuan Islam, adab selalu mendahului ilmu. Hal ini bukan sekadar slogan, tapi merupakan prinsip metodologis dan filosofis dalam pendidikan yang diwariskan oleh para ulama salaf dan diteruskan oleh ulama kontemporer.
Imam Syafi’i rahimahullah menegaskan:
“Aku mengajarkan adab sebelum mengajarkan ilmu.”
Ucapan ini tidak hanya menunjukkan urutan prioritas, tetapi menekankan bahwa ilmu yang tidak ditopang oleh adab akan kehilangan ruh dan manfaatnya. Ilmu bisa berubah menjadi alat keangkuhan, kesombongan, bahkan kerusakan, jika tidak diiringi oleh akhlak dan kesadaran etik.
Pemikiran ini dikembangkan secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir besar Islam kontemporer dari Malaysia. Dalam magnum opus-nya “Islam and Secularism”, al-Attas menggarisbawahi bahwa:
“Tujuan sejati pendidikan dalam Islam adalah penanaman adab dalam jiwa manusia.”
Menurut beliau, adab mencakup:
* pengenalan dan penghormatan terhadap tempat yang benar dari sesuatu dan seseorang,
* pengetahuan yang benar tentang batas antara hak dan kewajiban,
* serta pengakuan terhadap tanggung jawab moral dan spiritual.
Dengan demikian, adab bukan hanya “sopan santun,” melainkan kesadaran batin yang mendalam terhadap nilai, kebenaran, dan tanggung jawab.
Dalam konteks LPS, jika ingin mencetak generasi yang bukan sekadar cerdas secara kognitif, tetapi juga berakhlak, berkarakter, dan memiliki daya tahan moral, maka adab harus menjadi fondasi utama. Tanpa adab, pendidikan hanyalah formalitas tanpa arah ruhani.
4.2. Strategi Revitalisasi LPS melalui Penanaman Adab
Agar Lembaga Pendidikan Swasta kembali memiliki marwah dan daya tarik spiritual di mata masyarakat, maka diperlukan strategi yang tidak hanya administratif, tetapi menyentuh esensi pendidikan itu sendiri.
a. Integrasi Kurikulum Berbasis Adab
Kurikulum LPS harus dirancang untuk mengintegrasikan dimensi akhlak dan spiritual dalam semua mata pelajaran—tidak hanya pada pelajaran agama.
* Mata pelajaran IPA bisa menumbuhkan kekaguman kepada ciptaan Allah.
* Pelajaran Matematika dapat mengajarkan disiplin dan kejujuran.
* Bahasa bisa diarahkan untuk menanamkan empati dan komunikasi yang beradab.
Pendekatan ini dikenal sebagai ta’dib, yakni model pendidikan Islam yang menekankan pada pembentukan adab sebagai inti dari semua proses belajar.
Contoh nyata integrasi kurikulum berbasis adab dapat ditemukan dalam sistem Pondok Modern Gontor, yang mengajarkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan keikhlasan dalam seluruh aktivitas santri, dari bangun tidur hingga tidur kembali.
b. Pelatihan Guru sebagai Teladan Moral
Guru bukan sekadar pengajar (mu’allim), tetapi murabbi—yakni pendidik karakter. Oleh karena itu, strategi revitalisasi LPS tidak bisa dilepaskan dari pembinaan guru sebagai teladan adab.
Program pengembangan profesional guru di LPS harus mencakup:
* Pelatihan tentang akhlak mengajar,
* Internalisasi nilai-nilai keikhlasan dan keteladanan,
* Penguatan kompetensi spiritual dan emosional,
* Peningkatan kesadaran akan peran guru sebagai pembentuk generasi.
Dalam banyak kasus, murid lebih ingat sikap dan kepribadian guru dibanding materi pelajarannya. Maka memperbaiki adab guru adalah langkah strategis memperbaiki akhlak siswa.
c. Peningkatan Keterlibatan Orang Tua dan Masyarakat
LPS tidak akan berhasil menanamkan adab jika nilai-nilai tersebut tidak diperkuat di rumah dan lingkungan sosial. Maka harus dibangun segitiga emas pendidikan: sekolah – orang tua – masyarakat.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain:
* Mengadakan parenting class rutin yang fokus pada pembinaan adab keluarga.
* Melibatkan wali murid dalam program pembiasaan ibadah dan kegiatan sosial.
* Membangun komunitas sahabat sekolah yang aktif mendukung visi akhlakul karimah.
* Menjalin kemitraan dengan masjid, tokoh agama, dan komunitas lokal.
Jika semua pihak satu nilai dan satu arah, maka ekosistem adab akan terbentuk dan tertanam kuat dalam keseharian siswa.
d. Pemanfaatan Teknologi untuk Pendidikan Adab
Era digital bukanlah musuh, melainkan alat. LPS harus cerdas memanfaatkan teknologi untuk:
* Membuat konten adab di media sosial sekolah.
* Menggunakan platform e-learning dengan pendekatan integratif nilai.
* Mengembangkan modul karakter digital dalam bentuk video, podcast, atau microlearning.
Sebagai contoh, program “Daily Adab Reminder” via WhatsApp atau Telegram bisa menjadi sarana edukatif yang ringan tapi konsisten dalam membentuk mindset siswa dan orang tua.
4.3. Dampak Positif Penanaman Adab dalam LPS
Ketika strategi penanaman adab dilakukan secara konsisten dan sistematis, maka efek keberkahannya akan nyata dan meluas. Di antaranya:
a. Meningkatnya Kepercayaan Masyarakat terhadap LPS
Masyarakat saat ini mulai sadar bahwa ijazah bukan segalanya. Mereka mencari pendidikan yang menenangkan jiwa, bukan hanya menjanjikan gelar. LPS yang beradab akan semakin dicari dan dipercaya.
b. Terbentuknya Budaya Sekolah yang Positif dan Kondusif
Adab menciptakan iklim belajar yang sehat: siswa lebih sopan, guru lebih dihargai, konflik lebih sedikit, dan pembelajaran lebih efektif.
c. Peningkatan Prestasi Akademik dan Non-akademik
Studi-studi psikologi pendidikan membuktikan bahwa siswa yang memiliki etos belajar baik dan suasana emosional yang kondusif, akan lebih mudah menyerap ilmu dan mengembangkan potensinya.
d. Terbentuknya Generasi Berakhlak dan Bertanggung Jawab
Inilah visi tertinggi pendidikan: mencetak generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga amanah, berintegritas, dan berguna bagi masyarakat. Generasi inilah yang akan menjaga marwah agama, bangsa, dan peradaban.
Berikut saya lanjutkan artikel ini dengan Bagian Penutup dan Rekomendasi Strategis, yang disusun untuk memperkuat pesan utama serta mendorong artikel ini menjadi gerakan pemikiran dan aksi kolektif demi kebangkitan Lembaga Pendidikan Swasta (LPS) di Indonesia:
4.4. Rekomendasi Strategis untuk Kebangkitan LPS
Agar Lembaga Pendidikan Swasta tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit dengan bermartabat, maka diperlukan langkah strategis yang bersifat sistemik dan aplikatif. Berikut adalah sejumlah rekomendasi strategis yang bisa dijalankan oleh berbagai pemangku kepentingan:
1. Bagi Yayasan dan Pimpinan Sekolah:
* Rumuskan kembali visi pendidikan berbasis adab sebagai pondasi utama lembaga.
* Perkuat struktur organisasi sekolah dengan tim yang amanah, profesional, dan berjiwa dakwah.
* Alokasikan anggaran khusus untuk pengembangan karakter, pelatihan guru, dan kolaborasi sosial.
* Bangun budaya evaluasi internal yang jujur, berkala, dan terbuka terhadap kritik konstruktif.
2. Bagi Guru dan Tenaga Pendidik:
* Perbarui niat sebagai pendidik bukan hanya pengajar, dengan menjadikan diri sebagai teladan adab dan akhlak.
* Aktif dalam program pengembangan diri dan komunitas belajar guru berkarakter.
* Ciptakan suasana kelas yang ramah, terstruktur, dan membangun rasa hormat dua arah.
3. Bagi Orang Tua dan Wali Murid:
* Bangun sinergi yang sehat dan proaktif dengan pihak sekolah dalam mendidik anak.
* Hadiri forum parenting dan aktif dalam kegiatan komunitas wali murid.
* Jadilah panutan adab di rumah—karena pendidikan karakter tidak pernah berhasil tanpa dukungan keluarga.
4. Bagi Pemerintah dan Organisasi Keagamaan:
* Perlu ada kebijakan afirmatif untuk mendukung LPS berbasis nilai dan misi moral, bukan hanya berbasis kuantitas siswa.
* Fasilitasi program sertifikasi adab dan pelatihan kurikulum ta’dib untuk guru dan kepala sekolah.
* Perkuat kerja sama dengan ormas Islam, pesantren, dan tokoh lokal untuk mendampingi LPS yang ingin bangkit.
5. Bagi Alumni dan Masyarakat Umum:
* Kembalilah kepada almamater untuk berkontribusi dalam bentuk dana, tenaga, maupun ide.
* Jadilah duta LPS yang menjaga citra lembaga secara positif di masyarakat.
* Jika tidak bisa membantu secara langsung, jangan menjadi bagian dari penyebar persepsi negatif.
V. Penutup: Dari Gerakan Adab Menuju Kebangkitan Marwah LPS
Adab sebelum ilmu bukan sekadar slogan nostalgia, tapi paradigma revolusioner yang perlu dihidupkan kembali dengan semangat zaman. Dalam dunia yang semakin terjebak pada angka dan pencitraan, LPS perlu tampil sebagai benteng terakhir yang menyuarakan bahwa pendidikan sejati adalah pembentukan manusia seutuhnya—bukan hanya pencetak ijazah.
Kebangkitan LPS bukan hanya untuk menyelamatkan lembaga-lembaga yang tengah terpuruk, tetapi untuk mengawal masa depan Indonesia agar tidak hanya dihuni oleh generasi cerdas tapi kosong jiwanya, pintar tapi tak punya arah hidup, kritis tapi tak tahu adab berdialog.
Jika strategi ini dijalankan, jika semua pihak terlibat dengan hati dan dedikasi, maka insyaAllah keberkahan akan turun:
“Datangnya dana jariyah dari arah yang tak disangka-sangka. Terjaganya marwah guru dan sekolah. Meningkatnya kepercayaan masyarakat. Dan hadirnya generasi yang memuliakan ilmu dengan adab sebagai panglimanya.”
Inilah saatnya menjadikan artikel ini bukan sekadar bacaan—tapi gerakan. Gerakan membangun kembali marwah Lembaga Pendidikan Swasta, demi masa depan pendidikan yang beradab, berkualitas, dan diberkahi.
Catatan akhir:
Artikel ini boleh dibagikan, dikembangkan, dan dijadikan bahan diskusi lintas yayasan dan lembaga pendidikan.
Karena sebagaimana cahaya tidak pernah habis jika dibagikan, demikian pula adab—ia justru tumbuh ketika diajarkan dan diamalkan bersama.
Daftar Pustaka
1. Al-Attas, S. M. N. (1999). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
2. Departemen Pendidikan Nasional. (2023). Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Retrieved from https://dapo.kemdikbud.go.id
3. Juhri, M. M., & Fauziah, D. (2023). Kurikulum Pendidikan Berbasis Adab Perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas. Jurnal Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 12(1), 45–60. https://doi.org/10.36835/edukasiislam.v12i1.5734
4. Katadata Insight Center. (2023). Distribusi Sekolah Negeri dan Swasta di Indonesia 2023. Retrieved from https://databoks.katadata.co.id
5. Kurniawati, L., & Mustofa, M. (2022). Peran Guru Sebagai Teladan Akhlak Dalam Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 3340–3350. https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/24085
6. Mujiburrahman, M. (2021). Pendidikan Islam Dalam Krisis Modernitas: Telaah Terhadap Model Ta’dib Al-Attas. Tarbiyah: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 9(2), 179–195. https://doi.org/10.21093/tarbiyah.v9i2.4865
7. Qomar, M. (2007). Strategi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
8. Syafi’i, M. (2020). Urgensi Adab dalam Pendidikan Islam: Kajian Historis terhadap Pendekatan Ulama Salaf. Jurnal Al-Bidayah: Pendidikan Dasar Islam, 12(2), 123–134. https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/bidayah/article/view/9321
Klik untuk baca: https://www.facebook.com/share/1Ah32RJykW/?mibextid=wwXIfr