SURABAYA-kanalsembilan.com (13 April 2025)
Tak ada kata terlalu cepat untuk memulai dan tak ada kata terlambat untuk terus belajar, ungkapan itu tergambar dari sosok Raissa Arum Kusumaningtyas dan Amiq Fahmi yang dinobatkan menjadi wisudawan termuda dan tertua pada gelaran Wisuda ke-131 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sabtu – Minggu (12-13/4). Dengan latar belakang dan perjalanan berbeda, keduanya mampu membuktikan bahwa usia tidak menjadi batasan dalam menuntut ilmu.
Untuk mengantongi status sebagai wisudawan termuda di usia 20 tahun 9 bulan bukanlah perjalanan singkat bagi Raissa. Gadis kelahiran Bandung ini menjalani program akselerasi saat di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dukungan keluarga membawanya pada pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Bakti Bandung yang mengedepankan pengajaran etika dalam berbangsa dan bermasyarakat. “Latar belakang pendidikan semasa sekolah sangat lekat dengan kedisiplinan dan etika,” ungkapnya.
Bekal kedisiplinannya itu membentuk Raissa menjadi sosok yang tekun, sehingga berhasil membawanya pada studi lanjutan di Departemen Manajemen Bisnis ITS. Memiliki minat dalam bidang pemasaran, Raissa mengaku lebih tertarik untuk mempelajari keilmuan melalui praktik langsung. Hal itulah yang mendasari keputusannya untuk mengeksplorasi bidang bisnis.
Minatnya pada bidang bisnis tersebut diimplementasikan dalam penelitian tugas akhir (TA) yang mendalami tentang customer behavior dalam penggunaan kantor plastik pada gerai retail di Kota Bandung. Dara kelahiran 9 Juli 2004 itu menemukan bahwa masih banyaknya penggunaan kantong plastik ketika berbelanja disebabkan kurangnya informasi yang diberikan karyawan ritel mengenai alternatif lain kantong plastik, seperti tote bag atau kardus.
Lebih lanjut, Raissa mengungkapkan bahwa fakta di lapangan terhadap penggunaan kantong plastik sangat disayangkan mengingat kurangnya kerja sama seluruh elemen dalam menanggulangi pencemaran lingkungan.
“Perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap edukasi dan imbauan penggunaan kantong plastik oleh pelaku ekonomi kepada konsumen,” ujar mahasiswa program International Undergraduate Program (IUP) MB ITS itu.
Berbeda dari Raissa yang mengawali studi di usia belia, Fahmi justru menuntaskan studi doktoralnya di usia 59 tahun. Dosen Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ini memulai pendidikan S3 di ITS pada tahun 2018 lalu setelah menerima tawaran beasiswa dari kampus tempatnya mengajar. “Meski sudah menjadi dosen sejak 1998, bagi saya tidak pernah ada alasan untuk berhenti belajar,” tandasnya.
Meski telah memenuhi syarat akademik pada tahun kelima, Ayah dari tiga anak ini mengaku sempat mengalami hambatan, terutama dalam hal komunikasi selama pandemi Covid-19. Namun, semangatnya tak surut berkat dukungan penuh dari keluarga. “Semangat dari istri dan anak-anak menjadi motivasi terbesar saya untuk terus berjuang menyelesaikan studi ini,” tuturnya.
Mengangkat isu kesehatan, disertasi Fahmi menawarkan pendekatan baru dalam klasifikasi penyakit demam berdarah dengue (DBD). Menggunakan data dari 37 puskesmas dan 16 rumah sakit di Kota Semarang, penelitian ini fokus pada peningkatan akurasi diagnosis dini menggunakan teknik kecerdasan buatan.
“Selain itu, hasil dari riset ini mengisi kesenjangan dalam klasifikasi outlier dan penanganan data multikelas yang tidak seimbang,” tambah lulusan program doktoral Teknik Elektro tersebut.
Melalui pengalaman studinya, Raissa dan Fahmi berpesan agar mahasiswa memiliki semangat untuk terus belajar dan memperoleh banyak pengalaman di bangku perkuliahan. Keduanya berharap agar ilmu yang didapatkannya dapat memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Terutama dalam mendukung penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-3 tentang kesehatan yang baik dan poin ke-13 terkait aksi terhadap perubahan iklim. (za).