JAKARTA-kanallsembilan.com
Untuk memperkuat nilai tukar rupiah, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Juni 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 7,00%.
Keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter pro-stability sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
Kebijakan ini didukung dengan penguatan operasi moneter untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar Rupiah dan masuknya aliran modal asing. Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengatakan Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, melalui:
-
Penguatan strategi operasi moneter pro-market untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, dengan:
- Memperkuat struktur suku bunga di pasar uang Rupiah untuk menjaga daya tarik imbal hasil dan meningkatkan aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik guna mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah;
- Mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI);
- Peningkatan stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;
- Penguatan strategi transaksi term-repo SBN dan swap valas yang kompetitif guna menjaga kecukupan likuiditas perbankan;
- Penyempurnaan kebijakan makroprudensial kontrasiklikal Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) untuk penguatan pengelolaan pendanaan luar negeri bank sesuai kebutuhan perekonomian, berlaku sejak 1 Agustus 2024, yang mencakup (Lampiran 1):
- Pengaturan baru mengenai definisi dan cakupan pendanaan luar negeri untuk perhitungan batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek bank (threshold RPLN);
- Pengaturan batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek terhadap modal bank (threshold RPLN) sebesar 30% dengan parameter kontrasiklikal 0% atau ± 5% yang ditetapkan berdasarkan asesmen forward looking Bank Indonesia atas siklus keuangan, risiko eksternal, dan risiko stabilitas sistem keuangan (SSK);
- Penetapan RPLN saat ini sebesar 30% dengan parameter kontrasiklikal sebesar 0%, yang selanjutnya akan dilakukan review secara berkala setiap 6 bulan sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan;
- Pendalaman kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan fokus pendalaman suku bunga kredit berdasarkan sektor ekonomi (Lampiran 2); dan
- Perpanjangan kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan kebijakan Kartu Kredit (KK) sampai dengan 31 Desember 2024 meliputi:
- Tarif SKNBI sebesar Rp1 dari BI ke bank dan tarif SKNBI maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah; dan
- Kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang KK 5% dari total tagihan dan kebijakan nilai denda keterlambatan sebesar maksimum 1% dari total tagihan serta tidak melebihi Rp100.000;
- Penguatan kerja sama internasional pada area kebanksentralan, termasuk yang terkait konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal, serta fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas antara lain dengan melakukan kerja sama pariwisata dengan instansi terkait.
Menurutnya Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak risiko masih tingginya ketidakpastian global. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) ditempuh melalui program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).
Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal juga diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia terus mempererat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha.
Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi di tengah prospek perekonomian dunia yang lebih kuat.
Pertumbuhan ekonomi global pada 2024 diprakirakan mencapai 3,2%, lebih tinggi dari prakiraan awal, terutama dengan lebih baiknya pertumbuhan India dan Tiongkok. Ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh kuat ditopang oleh perbaikan permintaan domestik dan peningkatan ekspor dengan penurunan inflasi AS yang masih berjalan lambat. Kondisi ini mendorong Fed Fund Rate (FFR) diprakirakan baru akan turun pada akhir tahun 2024.
Sementara itu, European Central Bank (ECB) telah menurunkan suku bunga kebijakan moneternya lebih cepat sejalan dengan tekanan inflasi yang lebih rendah. Divergensi kebijakan moneter negara maju ini serta masih tingginya ketegangan geopolitik menyebabkan ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi.
Berbagai perkembangan tersebut, dan dengan tingginya yield US treasury, menyebabkan menguatnya nilai tukar dolar AS sehingga meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia dan menahan aliran masuk modal asing ke negara berkembang. Ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah ketidakpastian global, didukung oleh bauran kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah.
Konsumsi swasta tumbuh baik seiring dengan terjaganya daya beli dan kuatnya keyakinan konsumen. Investasi meningkat, baik investasi bangunan maupun nonbangunan, sejalan dengan berlanjutnya proyek infrastruktur Pemerintah dan membaiknya investasi swasta.
Permintaan domestik triwulan II 2024 yang meningkat antara lain tecermin pada kinerja positif sejumlah indikator konsumsi rumah tangga dan investasi, seperti Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks Penjualan Riil, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur. Selain itu, ekspor barang meningkat didorong kenaikan ekspor pertambangan dan manufaktur ke negara mitra dagang utama, seperti Tiongkok dan India. Ekspor jasa juga membaik ditopang pemulihan perekonomian negara asal wisatawan mancanegara.
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi periode triwulan berjalan antara lain didukung oleh pertumbuhan Lapangan Usaha (LU) Industri Pengolahan, LU Konstruksi, dan LU Perdagangan Besar dan Eceran. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7-5,5%. Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah melalui stimulus fiskal dan kebijakan makroprudensial, yang ditempuh secara konsisten dengan menerapkan prinsip kebijakan makroekonomi yang berhati–hati, guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap baik sehingga mendukung ketahanan eksternal.
Defisit transaksi berjalan triwulan II 2024 diprakirakan rendah ditopang oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan, yang sampai dengan Mei 2024 tercatat sebesar 5,6 miliar dolar AS. Sementara itu, aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio pada triwulan II 2024 (hingga 14 Juni 2024) mencatatkan net inflows sebesar 4,0 miliar dolar AS, di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Mei 2024 meningkat menjadi sebesar 139,0 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Secara keseluruhan, NPI 2024 diprakirakan terjaga dengan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB.
Neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan tetap mencatatkan surplus didukung oleh peningkatan aliran masuk modal asing baik dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) maupun investasi portofolio sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.
Stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga sesuai dengan komitmen kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia. Nilai tukar Rupiah pada Juni 2024 (hingga 19 Juni 2024) terjaga, meski sempat tertekan 0,70% (ptp), setelah pada Mei 2024 menguat 0,06% (ptp) dibandingkan dengan nilai tukar akhir bulan sebelumnya.
Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut dipengaruhi oleh dampak tingginya ketidakpastian pasar global, terutama berkaitan dengan ketidakpastian arah penurunan FFR, penguatan mata uang Dolar AS secara luas, dan masih tingginya ketegangan geopolitik. Dari faktor domestik, tekanan pada Rupiah juga disebabkan oleh kenaikan permintaan valas oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen, serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan. Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah melemah 5,92% dari level akhir Desember 2023, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan Won Korea, Baht Thailand, Peso Meksiko, Real Brazil, dan Yen Jepang masing-masing sebesar 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63%, dan 10,78%.
Kedepan, nilai tukar Rupiah diprakirakan akan bergerak stabil sesuai dengan komitmen Bank Indonesia untuk terus menstabilkan nilai tukar Rupiah, serta didukung oleh aliran masuk modal asing, menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik.
Bank Indonesia terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter termasuk peningkatan intervensi di pasar valas serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI. Bank Indonesia memperkuat koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023. (za)