Google search engine
HomeNasionalGenerasi Gadget: Merdeka Klik, Tapi Tertawan Karakter

Generasi Gadget: Merdeka Klik, Tapi Tertawan Karakter

SERIAL REFLEKSI KEMERDEKAAN 2025 – EDISI 15 AGUSTUS

Oleh: Dr. Ir. H Mangesti Waluyo Sedjati MM
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
📍Sidoarjo, 15 Agustus 2025

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh

Sahabat yang saya muliakan,
Hari ini kita hidup di zaman yang begitu bebas di layar, tapi begitu rapuh di jiwa. Anak-anak kita bisa mengakses apa saja: hiburan, informasi, bahkan ilmu agama—semua hanya sejauh sentuhan jempol. Tapi, di balik itu ada fakta getir: kemerdekaan klik seringkali hanya ilusi, sementara pikiran dan hati mereka terkunci oleh algoritma.

Data We Are Social (2025) menunjukkan waktu layar (screen time) masyarakat Indonesia hampir 9 jam per hari, dengan 3 jam lebih hanya untuk media sosial—tertinggi kedua di dunia. Bandingkan dengan waktu untuk belajar, beribadah, atau berbicara dengan orang tua yang sering tak sampai separuhnya. Satu generasi kini lebih lama bersama gawainya daripada bersama keluarganya sendiri.

Akibatnya, yang viral lebih cepat merasuk daripada yang mendidik. Anak muda hafal trending topic global, tapi gagap saat diminta menyebut sejarah atau pahlawan daerahnya. Survei Kemendikbud (2024) bahkan mencatat 68% siswa SMA tidak bisa menyebut tiga pahlawan lokal, dan 72% tidak memahami makna lagu daerah yang mereka nyanyikan sejak kecil.

Di sisi lain, otoritas moral bergeser. Survei Lembaga Kajian Keislaman (2024) mengungkap 56% remaja Muslim mendapatkan pemahaman agama pertama kali dari media sosial, bukan dari guru atau majelis ilmu. Padahal, ajaran yang datang dari layar seringkali potongan pendek, terlepas dari konteks, dan berisiko melahirkan pemahaman dangkal. Guru dan ulama kehilangan ruang di hati anak-anak yang sibuk menatap layar.

Sementara itu, sistem pendidikan kita terlalu sibuk mengejar angka rapor, tapi lupa mengajarkan nilai kehidupan. Kurikulum berubah-ubah tanpa benar-benar membumi, orangtua tidak dibekali untuk menjadi pendidik karakter di rumah, dan negara gagal menciptakan ruang digital yang sehat. Media sosial pun mengambil alih fungsi pembimbing moral.

Dampaknya nyata dan mengkhawatirkan:
• Normalisasi konten destruktif, pornografi, kekerasan, dan perundungan.
• Kemampuan bersosialisasi menurun, interaksi nyata tergantikan chat.
• Nilai agama dianggap kaku karena disampaikan tanpa narasi kontekstual.
• Generasi serba tahu secara informasi, tapi tak tahu cara hidup yang benar.
• Lonjakan depresi, kecemasan, dan krisis identitas di kalangan remaja (WHO, 2025).

Namun, masalah ini bukan tanpa jalan keluar. Solusinya bukan memusuhi teknologi, melainkan mengendalikannya untuk membebaskan jiwa, bukan menjajahnya. Kita memerlukan:
1. Ekosistem pendidikan karakter berbasis komunitas, bukan hanya institusi.
2. Penanaman nilai-nilai keislaman yang hidup, relevan dengan realitas digital.
3. Kehadiran tokoh agama, budayawan, dan guru di platform populer.
4. Produksi konten positif yang menarik, interaktif, dan mudah diakses di TikTok, Instagram, dan YouTube.
5. Gerakan “Hijrah Digital” untuk membumikan adab dan akhlak di dunia maya.

Langkah strategis yang harus diambil:
• Revisi kurikulum agar berbasis karakter, bukan sekadar kompetensi akademik.
• Program mentoring kepribadian yang menyentuh jiwa, bukan hanya otak.
• Pesantren Digital yang memadukan ilmu agama, akhlak, dan literasi digital.
• Majelis Etika Digital di tingkat komunitas, melibatkan tokoh lokal.
• Platform dakwah kreatif anak muda, bukan hanya ceramah formal.

Sahabat bangsa, merdeka itu bukan ketika jempol bebas memilih video, tapi ketika hati mampu memilih yang benar dari yang salah. Bukan hanya mengejar impian pribadi, tapi juga mengabdi pada nilai luhur yang menjaga bangsa dan agama.

Ingat pesan Allah dalam QS. At-Tin: 4–6:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”

Merdeka sejati hanya akan lahir jika pendidikan kembali menyentuh jiwa, bukan sekadar pikiran. Saat itulah anak muda tahu kepada siapa ia berbakti, untuk apa ia hidup, dan ke mana ia akan mati.

📌 Baca artikel lengkap Bab I–VII di:
https://www.facebook.com/share/p/1AtjqZ8VTP/

Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments