𝗜𝗧𝗧𝗜𝗕𝗔’
Syarat kedua diterimanya amal ialah ittiba’. Yakni amal perbuatan yang dilakukan haruslah sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ.
Kewajiban ini berdasarkan hadits Aisyah; Ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan merupakan bagian darinya, maka ia tertolak.”
Dalam riwayat Muslim, disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja mengerjakan suatu amalan tanpa ada perintah kami terhadapnya, maka amalan itu tertolak.”
Hadits ini merupakan salah satu dasar utama dalam ajaran Islam. Hadits ini sama seperti hadits tentang niat, yaitu bahwasanya amalan itu bergantung kepada niatnya. Kedua hadits ini menjadi barometer amal apa pun, baik itu secara batiniah maupun secara lahiriah.
Berdasarkan hadits tentang niat, amal yang dilakukan seorang hamba bukan karena mengharap wajah Allah, maka pelakunya tidak akan mendapat pahala.
Begitu pula dengan amal yang dilakukan seseorang bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Inilah kesimpulan yang dipahami dari kandungan hadits di atas.
Maka itu, sabda Nabi ﷺ:
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
“Tidak ada landasannya dalam agama kami,”
adalah sebuah isyarat bahwa amal yang dilakukan harus sesuai hukum syara’, dan hukum syara’-lah yang menjadi penentu, apakah amal itu diperintahkan atau justru terlarang.
Jadi, siapa saja yang melakukan amalan sesuai dengan hukum syara’, maka amalnya diterima. Sebaliknya, siapa yang melakukan amalan tak sesuai dengan hukum syara’, berarti amalnya tertolak.
Keharusan beramal sesuai dengan sunnah Rasul ini, karena Allah memerintahkan kita agar mematuhi beliau.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“…. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ….” (QS. Al-Hasyr : 7)
Allah juga berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb : 36)
Dalam hal ini, Allah juga telah menetapkan bahwa sikap mengikuti sunnah Rasul-Nya merupakan tanda cinta kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imrân : 31)
Hasan al-Bashri mengomentari ayat tersebut di atas:
“Orang-orang mengaku cinta kepada Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat tersebut.”
Rasulullah ﷺ juga berwasiat agar berpegang teguh kepada sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin, yaitu empat khalifahnya yang mendapatkan petunjuk.
Beliau ﷺ bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“… Karena siapa saja dari kalian yang hidup (setelah itu), maka ia pasti melihat begitu banyak perpecahan. Maka, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat ….”
(HR Ahmad (V/126 dan 127), Abu Dawud (XXII/359 dan 360), dan at-Tirmidzi pada pembahasan ilmu (X/144), yang bersumber dari hadits Ibnu Abbas. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan.”)
Az-Zuhri menjelaskan makna hadits ini: “Berpegang teguh kepada sunnah adalah keselamatan. Sebab, sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Malik, laksana bahtera Nuh. Siapa saja yang menumpanginya, pasti selamat. Tapi siapa saja yang tertinggal olehnya, pasti binasa.”
Sufyan mengatakan:
“Suatu perkataan (pengakuan) tidak akan diterima kecuali dengan adanya perbuatan. Perkataan dan perbuatan tidak akan dibenarkan kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak akan dibenarkan kecuali dengan mengikuti Rasul.”
Ibnu Syaudzab mengatakan:
“Salah satu nikmat yang Allah anugerahkan kepada seorang pemuda—jika ia taat beribadah kepada-Nya—adalah membimbingnya untuk bertemu dengan orang-orang yang mengamalkan sunnah, yang akan membawanya mengarungi kehidupan di atas sunnah tersebut.”
📖 Menapaki Tangga-Tangga Keshalihan hlm 7 – 21
✍️ Dr. Ahmad Farid
🖥 Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafii
…
#ikhlas #ikhlasberamal #ittiba