Bagian dari prinsip yang perlu kita jaga bahwa sebuah kesalahan, atau sesuatu yang bertolak belakang dengan prinsip kemanusiaan, atau bertolak belakang dengan prinsip ketuhanan, tidak boleh dipertahankan dengan alasan kebiasaan.
Sikap yang tepat adalah kita membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan. Karena tidak semua kebiasaan manusia sejalan dengan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena itulah, apabila ada budaya atau kebiasaan yang bertentangan dengan aturan syariat, sebagai seorang yang beriman yang sadar bahwa hidup ini tidak hanya sekali akan ada pertanggung-jawaban di akhirat, sudah selayaknya untuk kita tinggalkan kebiasaan tersebut.
Jamaah yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Kota Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari raya atau perayaan besar yang mereka lakukan sebelum mengenal Islam. Yang pertama adalah hari raya nairuz dan yang kedua adalah hari raya mihrajan.
Dua hari raya ini adalah budaya impor dari Persia yang beragama Majusi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan kepada mereka:
“Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” [HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178].
Ini merupakan bukti bahwasanya muslim yang ideal, yang mengikuti petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila dia memiliki suatu kebiasaan atau tradisi dimana tradisi itu tidak sejalan dengan bimbingan yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka siap untuk meninggalkan budaya dan tradisi itu.
Sebab, kita tidak boleh mempertahankan kebatilan dengan sebab kebiasaan. Yang tepat adalah bagaimana kita senantiasa untuk membiasakan diri agar tetap di atas kebenaran.
📕Selengkapnya
(gwa-saudara-muslim-2).