Tiga Amalan Penghapus Dosa (3) – Mengayunkan Kaki Menuju Shalat Berjama’ah
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«ثَلاثٌ كَفَّارَاتٌ: انْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ، وَإِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ، وَنَقْلُ الأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ»
“Tiga penghapus-penghapus dosa; menunggu (waktu pelaksanaan) shalat (lain) setelah (mendirikan) shalat; menyempurnakan wudhu’ di waktu-waktu pagi yang dingin; serta menghantarkan kaki-kaki menuju shalat-shalat berjama’ah.”
(HR. at-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Kabiir) ([1])
Yang dimaksud dengan kaffarat adalah penghapus dosa-dosa.
Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ»؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ؛ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ»
“Maukah kalian kutunjukkan perkara yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan (dosa), dan dengannya Allah akan mengangkat derajat-derajat?’ Mereka menjawab, ‘Ya, Ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyempurnakan wudhu` pada waktu-waktu yang tidak disukai (karena dinginnya), banyak langkah menuju masjid, dan menunggu (pelaksanaan waktu) shalat setelah (melaksanakan) shalat; maka itulah ribath.” ([2])
Kaffarah ketiga adalah mengayunkan kaki-kaki menuju shalat-shalat berjama’ah.
Yang dimaksud adalah sebagaimana di dalam riwayat lain yaitu,
«كَثْرَةُ الْخُطَا إِلىَ الْمَسَاجِدِ»
“Memperbanyak langkah-langkah menuju masjid-masjid.” ([1])
Shalat berjama’ah wajib bagi kaum laki-laki. Sementara penetapan keutamaan bagi sesuatu tidaklah menunjukkan akan ketiadaan kewajibannya sebagaimana disangka oleh sebagian manusia. Bahkan keutamaan dan pahala di dalam kewajiban adalah lebih banyak daripada (keutamaan dan pahala) di dalam amal sunnah.
Allah berfirman di dalam hadits Qudsiy,
(وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ([2]) إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ)
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai dari apa yang telah Kuwajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhari) ([3])
Dan dalil kewajibannya adalah hadits Abu Hurairah di dalam as-Shahihain, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ»
“Sungguh aku berniat untuk memerintah agar shalat ditegakkan, kemudian aku akan pergi menuju rumah-rumah kaum yang mereka tidak menghadiri shalat (berjama’ah), lalu aku bakar atas mereka (rumah-rumah mereka).” ([4])
Dan sekiranya shalat berjama’ah tidak wajib, maka pastilah Nabi ﷺ tidak akan berkeinginan melakukan yang demikian.
Pahala berjama’ah dilipatgandakan, Nabi ﷺ bersabda,
«صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً»
“Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat sendirian dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat.” (HR. al-Bukhari Muslim) ([5])
Dan Allah takjub terhadap shalat berjama’ah, Nabi ﷺ bersabda,
« إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ لَيَعْجَبُ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْ الْجَمْعِ»
“Sesungguhnya Allah benar-benar takjub terhadap shalat berjama’ah.” (HR. Ahmad) ([6])
Melanggengkan penjagaan shalat berjama’ah, dan mendapatinya dari awalnya selama empat puluh hari adalah merupakan perlindungan dari api neraka dan kemunafikan.
Dari Anas bin Malik, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ صَلَّى لِلهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa shalat empat puluh hari dalam keadaan berjama’ah, dia mendapati takbir yang pertama (takbiiratul ihram), maka ditulis untuknya dua kebebasan; satu kebebasan dari api neraka, dan kebebasan dari kemunafikan.” (HR. at-Turmudzi) ([7])
Telah valid di dalam Shahih Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa dia berkata, ‘Ada beberapa bidang tanah di sekitar masjid kosong, lalu Bani Salimah berkeinginan untuk pindah dekat masjid. Kemudian hal itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda kepada mereka,
«إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَنْتَقِلُوا قُرْبَ الْمَسْجِدِ»؟ قَالُوا: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ، قَدْ أَرَدْنَا ذَلِكَ. فَقَالَ: «يَا بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ، دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ»
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku, bahwa kalian ingin berpindah tempat ke dekat masjid?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ya Rasulullah, kami menginginkannya.’ Maka beliau bersabda, ‘Wahai Bani Salimah, tetaplah kalian di rumah-rumah kalian, akan ditulis (pahala) untuk kalian bekas-bekas (banyaknya langkah kaki) kalian, Wahai Bani Salimah, tetaplah kalian di rumah-rumah kalian, akan ditulis (pahala) untuk kalian bekas-bekas (banyaknya langkah kaki) kalian.” ([8])
Ibnu Mas’ud berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صلى الله عليه وسلم سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ. وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً. وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Barangsiapa senang bertemu Allah besok (pada hari kiamat) dalam keadaan muslim (selamat), maka hendaknya dia menjaga shalat-shalat (lima waktu tersebut), sekiranya dia dipanggil untuknya. Karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian ﷺ sunnah-sunnah petunjuk. Dan sesungguhnya shalat-shalat lima waktu (dalam keadaan berjama’ah tersebut) adalah termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Dan seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian, sebagaimana orang yang tidak hadir ini shalat di rumahnya, maka pastilah kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan seandainya kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka pastilah kalian tersesat. Dan tidak ada diantara seorang laki-lakipun yang bersuci, lalu dia memperbagusi bersucinya, kemudian dia (berangkat) sengaja menuju masjid dari masjid-masjid ini, melainkan Allah akan menulis untuknya sebuah kebaikan dengan setiap langkah yang dia melangkahkannya, dengannya Allah akan angkat satu derajat (untuknya), dan dengannya Allah akan hapus satu kesalahan darinya. Sungguh aku telah melihat kami, tidaklah absen dari shalat berjama’ah melainkan seorang munafiq yang telah diketahui kenifaqannya. Sungguh ada seorang laki-laki yang didatangkan dengan dipapah diantara dua orang laki-laki hingga dia diberdirikan di barisan (shaf shalat).” (HR. Muslim) ([9])
Yuhaadaa, berjalan diantara dua orang, seraya bertumpu pada keduanya, dan berayun kepada keduanya.
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid III, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
(gwa-sws-ayat).
_____________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (251), at-Turmudzi (51), an-Nasa`iy (143), Ibnu Majah (428), Ahmad (8008), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (VI/476)
([2]) Boleh [أحبَّ] dan [أحبُّ]
([3]) HR. al-Bukhari (6137), Ibnu Hibban (347), Ahmad (26236), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (VIII/105)
([4]) HR. al-Bukhari (2420), Muslim (651)
([5]) HR. Muslim (650), al-Bukhari (645), Ibnu Majah (789), Ahmad (5332), Ibnu Khuzaimah (1471), at-Tirmidzi (215), an-Nasa`i (837)
([6]) HR. Ahmad (5112), Shahiih al-Jaami’ (1820), Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (1652), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (406)
([7]) HR. at-Tirmidzi (241), Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (1979), Shahiih al-Jaami’ (6365, 2156), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (407)
([8]) HR. Muslim (665), Ahmad (14566), Ibnu Khuzaimah (451), at-Thabraniy dalam al-Ausath (4379), Ibnu Hibban (2042)
([9]) HR. Muslim (654), Abu Dawud (550), Ibnu Majah (777), Ahmad (3623), Ibnu Khuzaimah (1583), an-Nasa`iy (849)